JAKARTA (Riauinfo) - Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam klaim Kawasan hutan, khususnya sesuai ketentuan Pasal 110A.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH menjelaskan, perkebunan kelapa sawit yang sudah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 11/2020 yang belum memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini berlaku.
“Namun jika lewat 3 (tiga) tahun tidak menyelesaikan persyaratan, pelaku dikenai sanksi administratif, berupa: a. pembayaran denda administratif; dan/atau, b. pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa, (24/1/23).
Menurut Sadino, mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Bidang Kehutanan.
“Meski demikian kegiatan usaha perkebunan sawit yang telah terbangun harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan,” kata Sadino.
Sadino mengakui, ketentuan rencana tata ruang juga tidak mudah diimplementasikan karena tata ruang telah mengalami banyak perubahan dan seringkali rencana tata ruang yang diajukan mudah disalahgunakan sesuai kepentingan dalam tindak lanjut proses perizinan.
Untuk itu, PP mengatur perlunya; inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan.
“Kemudian, tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, selanjutnya tata cara perhitungan Denda Administratif dan PNBP yang berasal dari Denda Administratif, serta paksaan pemerintah,” jelasnya.
Sadino menambahkan, pembayaran PNBP berupa PSDH dan DR tidak terlepas dari tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki lzin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan , dilakukan melalui tahapan:
Pertama, pemberitahuan pemenuhan persyaratan perizinan di bidang kehutanan; Kedua, pengajuan permohonan penyelesaian persyaratan Perizinan di bidang kehutanan.
Kemudian Ketiga, verifikasi permohonan; Keempat, penerbitan surat perintah tagihan pelunasan PSDH dan DR; Kelima, pelunasan PSDH dan DR.
Selanjutnya yang Keenam adalah penerbitan; 1. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam kawasan Hutan Produksi; atau 2. Persetujuan Melanjutkan Tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki lzin Iokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Sadino menjelaskan, PP ini mengatur bagi perusahaan yang telah mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan, sesuai rencana tata ruang, telah dilakukan inventarisasi dan verifikasi, serta penerbitan surat perintah tagihan pelunasan PSDH dan DR dan pelunasan PSDH dan DR, maka kewajiban negara berupa PNBP telah terpenuhi dan tidak ada potensi kerugian atau kerugian keuangan negara.
“Bagi yang sudah mengajukan permohonan setelah dikeluarkannya PP ini, maka pelaku usaha tinggal menunggu proses penyelesaian yang tahapan prosesnya adalah menjadi otoritas pemerintah dalam hal ini KLHK” jelasnya.
Namun, tambah Sadino, bagi pelaku usaha yang tidak menyelesaikan dalam waktu 3 tahun diberikan Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sanksi Administratif terdiri atas: a. pembayaran Denda Administratif; dan/atau b. pencabutan Perizinan Berusaha. Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR.
“Mekanisme penggunaan hukum administratif dalam upaya pengembalian PNBP dari hutan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah turunan UU Cipta Kerja dan juga pengaturan dalam Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, sehingga tuduhan dengan tindak pidana korupsi tidak relevan lagi,” katanya.
Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Herban Heryadana dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021 beberapa waktu lalu menyatakan, UUCK untuk menyelesaikan usaha di dalam kawasan hutan sebelum lahirnya UUCK dengan proses hukum administrasi, pendekatan hukum yang digunakan ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
Menurut Herban, hal ini sesuai Pasal 110 A UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU dan belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini berlaku.
"Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun, pelaku dikenai sanksi administratif, berupa; pembayaran denda administratif atau pencabutan Perizinan Berusaha," kata Herban.
Menurut Herban, yang dimaksud dengan pasal 110A adalah kebun sawit di kawasan hutan
sebelum berlakunya UU CK dan memiliki izin lokasi dan atau Izin Usaha Perkebunan yang sesuai Tata Ruang. IUP untuk Korporasi dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) untuk masyarakat maksimal 25 ha.
"Memiliki izin lokasi dan atau Izin Usaha Perkebunan yang sesuai Tata Ruang dan IUP untuk Korporasi. Kemudian Surat Tanda Daftar Budidaya untuk masyarakat maksimal 25 ha," tegasnya.
Menurut Herban, kemudian akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK.
"Namun, jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,'' tegasnya.
Dalam UUCK jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.
''Pasal 110 A dan B hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UUCK tanpa memiliki perijinan atau persetujuan Menteri, bisa dikenakan sanksi pidana,'' tegasnya.
Herban berharap, UUCK adalah menyiapkan langkah-langkah memberi kepastian hukum. Meliputi kepastian kawasan, kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian keberlangsungan usaha, dan kepastian keberlanjutan lingkungan.
''Semua kepastian ini terkandung dalam amanat UUCK, agar semuanya ke depan kembali patuh pada ketentuan yang ada,'' pungkas Herban.(*)