Oleh: Maryam Aqilah, mahasiswi Universitas Tazkia Bogor.
“Kerja santai, cuan setiap hari.”
Kalimat ini sering muncul di iklan bisnis online dan investasi digital yang membanjiri media sosial. Dari skema tranding tanpa ilmu, hingga MLM digital yang menjanjikan penghasilan puluhan juta per bulan. Semua menawarkan satu hal seperti, cepat kaya tanpa proses. Ironisnya, justru kalangan muda yang paling banyak terjebak di dalamnya.
Fenomena bisnis instan ini bukan hanya soal keinginan cepat dapat uang, tetapi juga sikap mudah menyerah, kurang sabar, dan minim usaha berkelanjutan. Generasi muda banyak terbujuk oleh iklan-iklan dan janji manis di media sosial yang menawarkan jalan pintas menuju kekayaan lewat investasi bodong, trading ilegal, hingga skema ponzi. Padahal, data menunjukkan bahwa mayoritas bisnis semacam ini berujung pada kerugian besar, bahkan kehancuran finansial.
Fenomena bisnis instan ini menggambarkan wajah baru generasi muda yang haus hasil cepat tapi alergi proses. Mereka ingin sukses seperti influencer atau pebisnis muda viral, tapi tidak tahu bagaimana perjalanan panjang di baliknya. Sekitar lebih dari 60% anak muda pernah mencoba bisnis online cepat kaya, namun sekitar 70% di antaranya berhenti karena rugi atau tertipu. Masalahnya bukan sekedar kehilangan uang, tapi juga hilangnya mental berjuang dan etika bisnis.
Media sosial memparah situasi. Algoritma platform membuat kesuksesan palsu terlihat nyata. Seseorang yang baru untung sekali langsung disebut “Pengusaha sukses”, padahal baru mulai seminggu. Akibatnya, banyak anak muda salah mengira bahwa proses panjang bisa dilewati hanya dengan “motivasi” dan “niat”.
Tren ini menunjukkan krisis mentalitis bisnis di kalangan muda. Banyak yang ingin hasil instan karena tidak siap gagal. Padahal, dalam dunia nyata, bisnis adalah perjalanan panjang penuh resiko, pengorbanan, dan pembelajaran. Para penipu digital memanfaatkan kelemahan ini. Skema piramida, robot trading, atau investasi bodong memakai bahasa motivasi dan gaya hidup mewah sebagai umpan. Mereka tidak menjual produk, tetapi mereka menjual mimpi.
Fenomena ini juga menciptakan efek psikologis berbahaya, yaitu “Fear Of Missing Out” (FOMO). Ketika melihat teman viral karena “bisnis sukses”, anak muda lain merasa tertinggal dan ikut-ikutan tanpa riset. Padahal, keberhasilan sejati lahir dari proses bukan kecepatan. Lihat saja contoh nyata seperti, Gojek, Tokopedia, bahkan usaha kuliner kecil yang bertahan bertahun-tahun. Semua lahir dari kesabaran, bukan sensasi. Sementara itu, bisnis instan hanya meninggalkan jejak penyesalan dan utang.
Mengubah mental instan bukan perkara mudah, tapi bukan mustahil. Dibutuhkan pendidikan karakter dan literasi ekonomi sejak dini. Sekolah dan kampus perlu menanamkan bahwa bisnis bukan soal keberuntungan, melainkan hasil dari kerja keras, riset, dan komitmen. Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap iklan dan promosi bisnis online yang menyesatkan, agar generasi muda tak terus menjadi korban. Selain itu, figur publik dan influencer seharusnya mengambil peran positif dengan menampilkan proses perjuangan di balik kesuksesan, bukan hanya hasil akhirnya. Anak muda perlu diyakinkan bahwa menjadi sukses itu butuh waktu, sama seperti menanam benih, bukan menunggu hujan uang.
Generasi muda adalah harapan bangsa, tapi harapan itu bisa sirna jika mental mereka terjebak dalam budaya instan. Di tengah dunia yang serba cepat, justru ketekunanlah yang menjadi revolusioner. Sebab, kaya cepat mungkin bisa membuatmu viral, tapi kaya lewat prosesmu membuatmu bertahan. Utamakan keberkahan, bukan kecepatan. Dalam Islam, rezeki yang halal dan berkah datang dengan ikhtiar, bukan dengan cara curang atau menipu.