Oleh: Farkhan Maulana Mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis Syariah, Institut Agama Islam Tazkia
Jujur saja, apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata "wakaf"? Kemungkinan besar adalah sebidang tanah yang dihibahkan untuk masjid, rumah Al-Qur’an, atau area pemakaman. Sebuah amal jariyah yang mulia, tentu saja. Namun, pandangan ini, meski tidak salah, membuat kita kehilangan gambaran besarnya.
Di balik citra aset yang statis itu, Indonesia sesungguhnya menyimpan "raksasa tidur" dengan potensi ekonomi yang luar biasa. Badan Wakaf Indonesia (BWI) menaksir potensi aset wakaf di negeri ini mencapai ribuan triliun rupiah. Bayangkan, sebuah kekuatan finansial dahsyat yang nilainya bisa menyaingi belanja negara, namun sebagian besarnya masih "tertidur" dalam bentuk aset yang kurang produktif.
Lalu, mengapa potensi sebesar ini seolah diam tak tersentuh? Jawabannya terletak pada paradigma lama. Sudah saatnya kita beralih dari sekadar wakaf konsumtif menuju wakaf produktif sebuah konsep yang mampu mengubah amal saleh menjadi mesin kebaikan abadi.
Dari Aset Diam Menjadi Mesin Kebaikan Abadi
Paradigma wakaf tradisional seringkali berhenti pada manfaat fisik. Sebuah masjid dibangun, jamaah bisa shalat, dan manfaatnya terasa di sana. Wakaf produktif berpikir selangkah lebih maju. Prinsipnya sederhana: pokok wakafnya abadi, hasilnya dinikmati umat selamanya.
Instrumen yang paling fleksibel untuk ini adalah wakaf uang. Alih-alih memberikan tanah, kita bisa berwakaf dengan sejumlah uang. Dana yang terkumpul ini tidak akan dibelanjakan hingga habis, melainkan dikelola secara profesional oleh lembaga pengelola wakaf (nazhir). Dana tersebut diinvestasikan pada instrumen-instrumen yang aman dan halal, seperti sukuk, deposito syariah, atau proyek bisnis riil.
Nah, keuntungan atau imbal hasil dari investasi inilah yang kemudian menjadi "bahan bakar" untuk membiayai berbagai program sosial tanpa henti. Wakaf tidak lagi menjadi sumur yang airnya diambil sekali, melainkan menjadi mata air yang tak pernah kering.
Bukan Lagi Sekadar Mimpi: Rumah Sakit hingga Beasiswa dari Wakaf
Ini bukan lagi sekadar teori. Di Indonesia, sudah ada contoh nyata bagaimana wakaf produktif bekerja. Dana wakaf yang dikelola secara modern telah berhasil mendanai:
- Pembangunan rumah sakit gratis bagi kaum dhuafa, lengkap dengan fasilitas modern.
- Pemberian beasiswa pendidikan bagi ribuan anak cerdas dari keluarga prasejahtera, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
- Pemberdayaan ekonomi dengan memberikan modal usaha tanpa bunga bagi para petani, nelayan, dan pedagang kecil.
Bayangkan jika gerakan ini menjadi masif. Kita bisa memiliki jaringan fasilitas kesehatan dan pendidikan berkualitas yang tidak bergantung pada APBN, melainkan didanai oleh kekuatan filantropi umat sendiri. Inilah wujud nyata dari kemandirian dan keadilan sosial.
Tantangan Terbesar: Profesionalisme dan Kepercayaan
Tentu, jalan untuk membangunkan raksasa ini tidaklah mudah. Dua tantangan besar menghadang di depan mata.
Pertama, profesionalisme pengelola (nazhir). Mengelola dana wakaf produktif menuntut keahlian setingkat manajer investasi. Nazhir tidak bisa lagi sekadar menjadi "penjaga aset", melainkan harus menjadi pengembang aset yang inovatif, transparan, dan akuntabel.
Kedua, literasi dan kepercayaan publik. Masyarakat perlu diedukasi bahwa wakaf uang itu aman dan potensinya luar biasa. Kepercayaan ini hanya bisa dibangun jika lembaga-lembaga wakaf mampu menunjukkan tata kelola yang baik dan melaporkan dampak positif dari dana yang mereka kelola secara rutin dan transparan.
Saatnya Beraksi Bersama
Wakaf adalah instrumen peradaban. Ia bukan sekadar ritual ibadah, melainkan sebuah perangkat visioner untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan umat. Potensi sudah ada di depan mata, cetak birunya pun sudah jelas.
Kini, tugas kita bersama pemerintah dengan regulasi yang mendukung, para nazhir dengan meningkatkan profesionalisme, dan kita semua dengan mulai berpartisipasi dalam wakaf produktif, berapapun nilainya. Sudah saatnya kita membangunkan "raksasa tidur" ini. Bukan hanya untuk mengejar pahala, tetapi untuk membangun warisan kebaikan yang akan terus hidup, jauh setelah kita tiada.
