Oleh: Muhammad Nabil Thoriq, Mahasiswa STMIK Tazkia
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan ( Artificial Intelligence ) telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia bisnis, keuangan, pendidikan, hingga pemerintahan. Kecerdasan buatan AI merupakan fenomena teknologi yang kini merubah dunia kita menjadi penggerak utama dalam berbagai teknologi, seperti pengumpulan data besar, robotika, dan digitalisasi objek. Di tengah banyak tantangan yang di hadapi oleh agama.
Namun di sisi lain, kita sebagai umat islam, penting untuk meninjau sejauh mana AI ini selaras dengan prinsip prinsip syariat, khususnya dalam fiqih Muamalah yakni aturan syariah yang mengatur hubungan sosial dan ekonomi antar manusia.
Lalu pertanyaan yang sering muncul dalam benak umat islam, apakah penggunaan AI dalam transaksi ekonomi, bisnis digital, dan sistem keuangan diperbolehkan dalam islam? Dan juga apakah ada batasan syar’i yang perlu diperhatikan?
Fiqih Muamalah
Pada dasarnya fiqih Muamalah pada prinsip الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم artinya hukum asal dalam muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. Maksudnya segala bentuk transaksasi dan teknologi baru termasuk AI hukum nya mubah, selama tidak melanggar prinsip syariah seperti :
- Gharar ( ketidakjelasan )
- Riba ( bunga )
- Maisyir ( judi )
- Dzulm ( kezdaliman )
- Tadlis ( penipuan )
Dengan prinsip ini, AI pada dasarnya boleh dimanfaatkan, selama penggunaannya tidak menyalahi larangan-larangan tersebut.
AI Dalam Dunia Muamalah
1. Perbankan Syariah
AI digunakan untuk Creadit Scoring dan analisis risiko pembiaayaan. Namun sebelum itu, apa yang dimaksud Creadit Scoring? Credit scoring atau penilaian kredit adalah suatu sistem yang diterapkan oleh suatu lembaga pembiayaan seperti bank, fintech, p2p lending atau pihak pemberi pinjaman lainnya untuk menilai profil risiko peminjam terkait kelayakannya mendapat pendanaan atau tidak, Jika sistemnya transparan dan tidak menzalimi nasabah, maka ini diperbolehkan. Namun, jika AI hanya berdasarkan data tanpa mempertimbangkan kondisi moral/etis nasabah, maka bisa jadi melanggar asas keadilan.
2. E-Commerce dan Smart Contract
Berdasarkan prinsip-prinsip fiqih muamalah, para ulama memiliki pandangan yang terperinci mengenai e-commerce dan smart contract. Secara umum, hukum asal dari muamalah (urusan duniawi, termasuk transaksi) adalah dibolehkan (halal) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya dan selama memenuhi syarat-syarat akad yang sah. Para ulama memandang e-commerce sebagai salah satu bentuk transaksi jual beli kontemporer yang hukum asalnya adalah boleh, dengan beberapa syarat. Syarat-syarat ini bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, seperti gharar (ketidakpastian), jahalah (ketidaktahuan), riba (bunga), tadlis (penipuan), dan zhulm (kezaliman). Fiqih mengatur bahwa akad tetap harus jelas, rukun dan syaratnya terpenuhi. Maka, walaupun dilakukan oleh robot, akad digital tetap sah selama syaratnya terpenuhi.
3. AI untuk Investasi (Robo Advisor)
Robo-advisor adalah sebuah platform investasi digital yang menggunakan algoritma dan kecerdasan buatan (AI) untuk memberikan saran investasi, mengelola portofolio, dan melakukan rebalancing portofolio secara otomatis. Dalam konteks investasi syariah, AI dapat diintegrasikan sebagai filter syariah untuk membantu investor memilih portofolio yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, penggunaan AI dalam robo-advisor dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memperluas dan mempermudah investasi syariah, asalkan filter syariah diterapkan secara ketat dan konsisten.
Tantangan dan Kekhawatiran Fiqih
Keputusan Otomatis Tanpa Akhlak. AI tidak memiliki kesadaran, akhlak, atau nilai etika seperti manusia. Dalam Islam, keadilan dan niat menjadi fondasi dalam muamalah. Maka, sistem AI yang membuat keputusan otomatis harus tetap dalam pengawasan manusia agar tidak menimbulkan dzolim atau ketidakadilan.
Potensi Gharar dalam Prediksi AI. Banyak sistem AI mengandalkan prediksi dan probabilitas. Jika digunakan untuk jual beli masa depan (future trading) tanpa kepastian, ini mendekati gharar dan maysir yang dilarang.
Privasi dan Penyalahgunaan Data. Islam melarang penyadapan dan peretasan. Penggunaan AI untuk mengumpulkan data tanpa izin, seperti pada iklan targeted ads. Iklan Targeted Ads adalah jenis iklan digital yang menargetkan audiens tertentu berdasarkan minat, perilaku, demografi, dan data lainnya. Ini berbeda dengan iklan konvensional (misalnya, di televisi atau majalah) yang disiarkan kepada semua orang. Bisa melanggar batasan syar’i soal hurmatul insaan (kehormatan individu).
Pandangan Ulama dan Fatwa Kontemporer
Majma’ Fiqih Islam Dunia (International Islamic Fiqih Academy) dan beberapa lembaga fatwa telah menyinggung soal teknologi baru. Prinsipnya: penggunaan teknologi mutakhir seperti AI boleh, asalkan tidak melanggar prinsip syariah, dan dilakukan dengan tanggung jawab. Syekh Dr. Ali al-Qaradaghi, seorang pakar ekonomi Islam, memberikan pandanagan bahwa AI adalah alat, dan alat bisa halal atau haram tergantung niat, tujuan, dan implementasinya. Maka, prinsip maqashid syariah menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan harus menjadi acuan dalam pengembangan teknologi.
Fiqih Islam adalah salah satu ilmu syar’i yang penting karena berkontribusi dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan umat Muslim sehari-hari. Ilmu ini harus terus berkembang seiring kebutuhan zaman dan menyesuaikan diri dengan dengan kondisi kontemporer. Untuk itu, amat terbuka kemungkinan fiqih membutuhkan alat dan metode modern yang sesuai dengan perkembangan teknologi masa kini. AI misalnya.
AI hadir sebagai alat baru yang diharapkan dapat menjadi bagian dari proses isthinbat dan analisis hukum fiqih. Meski demikian kita harus melihat teknologi ini sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti interpretasi manusia dan istinbath dalam makna terminologinya. Dengan bahasa sederhana, AI tidak mungkin menjadi mujtahid, bahkan sekedar mufti! Pemahaman mendalam dan komprehensif terhadap hukum fiqih tetap memerlukan keahlian, “seni”, kemampuan deduksi, dan pemikiran kritis yang hanya dimiliki oleh manusia, tepatnya para ulama dan fuqaha’.
Menuju Etika AI Islami
Kita sedang memasuki era baru di mana manusia hidup berdampingan dengan mesin cerdas. Namun, teknologi tanpa etika bisa berbahaya. Islam hadir sebagai pedoman agar AI tidak hanya cerdas secara teknis, tapi juga selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Sebagai umat Islam, kita tidak anti teknologi, tapi kita harus memastikan bahwa kecanggihan AI tetap dalam koridor syariah. Sudah saatnya para ulama, ilmuwan, dan pengusaha muslim bekerja sama menyusun framework etika AI yang sesuai dengan fiqih muamalah.
“Teknologi adalah alat. Tangan manusia yang menentukan, apakah ia menjadi rahmat atau musibah”