Oleh: Nabil Thoriq, Mahasiswa STMIK TAZKIA
Kecerdasaan Buatan atau Artificial Inteligent (AI) kini menjadi sorotan utama dalam perkembangan teknologi global. Mulai dari e-commerse hingga perbankan syariah. AI telah diadopsi untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan dalam transaksi ekonomi. Namun ,laju perkembangan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait etika, hukum dan keabsahan syar i nya, terutama dalam konteks Fiqih Muamalah.
Fiqih Muamalan sebagai pondasi hukum Islam dalam urusan sosial dan ekonomi, dituntut untuk merespon fenomena ini dangan bijak. Maka, penting untuk mengkaji sejauh mana AI dapat dimanfaatkan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al Qur an, hadist, dan ijtihad para Ulama.
AI dan Muamalah dalam Konteks Modern
AI merupakan sistem teknologi yang mampu meniru proses kognitif manusia, seperti pengambilan keputusan, pembelajaran, dan pemecahan masalah. Dalam dunia muamalah modern, AI digunakan dalam :
- Otomatisasi jual beli online ( e-commerse)
- Sistem penilain kelayakan pembiayaan
- Chatboot layanan pelanggan
- Algoritma Investasi Syariah
- Platform digital zakat dan wakaf
Menurut laporan World Economic Forum (2023), lebih dari 80% institusi keuangan global telah menerapkan AI, termasuk lembaga keuangan syariah. Namun, apakah sistem ini selaras dengan maqasyid Syariah?
Tantangan Fiqih terhadap Penggunaan AI
Validitas Akad dalam Sistem Otomatis
Dalam islam, keabsahan transaksi bergantung pada ijab Qobul, kejelasan objek, dan kerelaan pihak yang bertransaksi. Dalam sistem AI, akad dilakukan otomatis oleh mesin tanpa kesadaran penuh manusia. Sebagai mana hadist Rasulullah Saw, “ Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)” (HR. Ibnu Majah)
Jika pengguna tidak memahami proses dan konsekuensi akad digital, maka berpotensi mengandung Gharar (ketijakjelasan) yang dilarang syariat.
Keadilan dan Transparasi Algoritma
AI kerap bersifat “black Box” artinya pengguna tidak tahu sistem mengambil keputusan. Jika algoritma tidak transparan atau memuat bias tertentu, maka keadilan (a’dl) dalam transaksi bisa terancam.
Menurut MUI dalam Fatwa DSN No. 117/ DSN-MUI/II/2018 tentang layanan fintech syariah, keadilan dan transparasi merupakan bagian yang tidak boleh dilanggar.
Potensi Eksploitasi Konsumen
Sistem AI dalam merketing digital dapat mendorong konsumen pada pembelian implusif melalui Algoritma yang menyasar kelemahan psikologis pengguna.
Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan pantingnya kejujuran dan larangan menipu dalam transaksi.
Jika Algoritma dimanfaatkan dalam menciptakan tadlis (penipuan terselubung ) maka transaksi bertentangan dengan prinsip muamalah yang sah.
Pengolaan dana sosial berbasis AI
Beberapa platform zakat dan wakaf kini memakai AI untuk mendata mustahik dan menyalurkan dana secara digital. Hal ini berpotensi mempercepat distirbusi manfaat. Namun, data yang digunakan harus valid dan diadit agar tidak menimbulkan dzulm ( ketidakadilan ).
QS. Al Baqarah ; 267 – “ Hai orang orang yang beriman, nafkanlah di (jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik.”
Maka pengolaan digital tetap harus menjaga prinsip amanah dan akuntabilitas.
Prinsip Syariah yang harus dijaga
Agar memanfaatkan AI tetap dalam koridor syariah, prinsip prinsip
- Transparasi ( Bayyinah ) ; Semua proses dan Informasi harus jelas.
- Keadilan (Adl) Tidak boleh ada diskriminasi algoritma
- Kerelaan ( Taradhi) Pengguna harus sadar dan rela terthadap setiap transaksi
- Hindari Riba, Gharar dan Maysir AI tidak boleh digunakan dalam sistem yang mengandung bunga, ketidakpastian atau spekulasi.
- Tanggung Jawab ( Amanah ) Pengembang dan pengguana sistem AI wajib bertanggung jawab atas hasil keputusan AI.
Kecerdasan buatan adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Namun, dalam islam, segala bentuk kemajuan harus dikawal dangan nilai syariah. AI dapat menjadi sarana ( wasilah ) untuk mempercepat ekonomi ummat. Tetapi tidak boleh menghilangkan esensi keadilan, transparasi dan tanggung jawab yang menjadi ruh muamalah Islam.
“Teknologi tanpa nilai adalah jalan cepat menuju efisiensi, tapi belum tentu menuju keberkahan.”
Diperlukan sinergi antara pakar teknologi dan ulama agar lahir regulasi dan sistem berbasis AI yang benar benar syar-i. Dengan begitu, umat islam bisa menjadi pelaku aktif dalam ekonomi digital tanpa kehilangan nilai nilai Ilahillah.
Refrensi
- Fatwa DSN MUI No. 117/DSN- MUI/II/2018 tentang layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Bersasarkan Prinsip Syariah
- World Economic Forum, 2023, "The Future of Financial Services"
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Kitab Al-Buyu
- Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 267
- Hadis Riwayat Ibnu Majah tentang kerelaan dalam transaksi