Apakah Endorsement Termasuk Jual Beli atau Gharar Terselubung?

Apakah Endorsement Termasuk Jual Beli atau Gharar Terselubung?
Ilustrasi

Oleh: Rizka Sugiarto, STMIK Tazkia Bogor Jurusan Sistem Informasi 

Di era digital dan media sosial, aktivitas endorsement atau promosi berbayar menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pemasaran modern. Seorang influencer atau selebgram dengan jutaan pengikut memiliki kekuatan untuk memengaruhi keputusan pembelian pengikutnya hanya dengan satu unggahan. Praktik ini terlihat sederhana: perusahaan mengirim produk dan membayar influencer untuk mempromosikannya di akun media sosial mereka. Namun, dari sudut pandang Islam, khususnya fiqih muamalah, muncul pertanyaan mendalam: apakah praktik endorsement ini termasuk bentuk akad jual beli atau ijarah (sewa jasa) yang sah, atau justru mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam Islam?

Dalam fiqih muamalah, setiap bentuk transaksi antara dua pihak harus memenuhi syarat-syarat sahnya akad. Endorsement pada dasarnya termasuk dalam akad ijarah, yaitu sewa jasa. Influencer menyewakan jasanya berupa pengaruh dan publikasi konten, dan perusahaan membayar atas jasa tersebut. Sepanjang jasa yang diberikan jelas, kompensasinya pasti, dan objek yang dipromosikan halal, maka akad endorsement ini pada dasarnya boleh secara syariah.

Hal ini sejalan dengan Fatwa DSN-MUI No. 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah, yang menyebutkan bahwa ijarah (sewa menyewa) adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah. Jika endorsement dilakukan dengan akad yang jelas, tanpa penipuan, dan atas barang yang halal, maka praktik ini dapat dikategorikan dalam akad ijarah yang dibolehkan.

Masalah muncul ketika konten yang dipromosikan tidak sesuai kenyataan. Misalnya, influencer menyatakan bahwa suatu produk sangat bagus, padahal ia tidak pernah mencobanya. Atau, ia mempromosikan produk yang kualitasnya rendah atau tidak sesuai dengan klaim. Dalam kondisi seperti ini, endorsement dapat mengandung unsur gharar, yaitu ketidakjelasan dan potensi penipuan. Islam melarang gharar karena berpotensi merugikan salah satu pihak dalam transaksi, dalam hal ini konsumen yang tertipu oleh informasi palsu.

Lebih jauh, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menipu, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Muslim) Ini menunjukkan bahwa promosi yang mengandung unsur kebohongan atau manipulasi informasi, meskipun secara teknis adalah “iklan”, tetap tidak dibenarkan dalam syariat. Oleh karena itu, seorang Muslim yang terlibat dalam aktivitas endorsement harus menjunjung tinggi nilai jujur, amanah, dan transparansi.

Salah satu persoalan yang juga perlu dikaji adalah transparansi konten berbayar. Di beberapa kasus, influencer tidak memberi tahu audiens bahwa konten yang mereka unggah adalah hasil kerja sama berbayar (paid partnership). Hal ini menimbulkan persepsi bahwa opini yang mereka sampaikan bersifat netral, padahal ada kepentingan komersial di baliknya. Dalam Islam, menyembunyikan motif ekonomi di balik opini publik bisa masuk dalam kategori penipuan terselubung (tadlis), dan hal ini tentu bertentangan dengan prinsip kejujuran dalam muamalah.

Sebaliknya, jika influencer menjelaskan secara terbuka bahwa konten mereka adalah bagian dari kerja sama promosi, menjelaskan kelebihan dan kekurangan produk secara objektif, serta hanya mempromosikan produk halal dan layak konsumsi, maka endorsement dapat dianggap sebagai praktik muamalah yang sah dan tidak bertentangan dengan prinsip Islam.

Endorsement dalam dunia media sosial modern pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam karena termasuk akad ijarah, yaitu sewa jasa. Namun, jika promosi dilakukan secara manipulatif, tidak transparan, atau menyembunyikan kebenaran tentang produk, maka praktik ini dapat mengandung unsur gharar terselubung yang dilarang dalam fiqih muamalah. Oleh karena itu, penting bagi para influencer Muslim untuk menjaga kejujuran dan amanah dalam setiap konten yang mereka bagikan, serta memastikan bahwa praktik promosi mereka membawa manfaat, bukan mudarat, bagi masyarakat luas.

Daftar Pustaka:

  1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Fatwa DSN-MUI No. 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah. Jakarta: DSN-MUI.
  2. Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 5. Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.
  3. Al-Mubarakfuri, Syarh Sunan Tirmidzi. Tuhfah al-Ahwadzi. Riyadh: Dar al-Salam.
  4. Yusuf al-Qaradawi. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Robbani Press, 2001.
  5. Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.
  6. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Pedoman Etika Endorsement di Media Sosial, 2022.
  7. Kominfo. Literasi Digital dan Tanggung Jawab Influencer, www.kominfo.go.id, diakses Mei 2025.

 

 

#Artikel Mahasiswa

Index

Berita Lainnya

Index