Oleh: Syifa Nurfiyani Arfan, mahasiswi dari Universitas Tazkia, Bogor
Di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi global dari inflasi tinggi, volatilitas nilai tukar, hingga ancaman resesi perbankan syariah dihadapkan pada tantangan besar untuk tetap tangguh dan kompetitif. Dalam lanskap keuangan ini, Manajemen Treasury dan Aset Liabilitas (Asset-Liability Management/ALMA) menjadi garda terdepan yang menentukan stabilitas dan keberlangsungan operasional bank syariah.
ALMA adalah strategi menyeluruh yang bertujuan untuk mengelola keseimbangan antara aset (piutang, investasi, pembiayaan) dan liabilitas (dana pihak ketiga seperti tabungan, deposito) dalam suatu bank. Dalam konteks bank syariah, ALMA harus tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Syariah tanpa bunga (riba), menghindari gharar (ketidakjelasan), dan memastikan keadilan dalam transaksi.
Berbeda dari bank konvensional yang mengandalkan suku bunga sebagai dasar pengelolaan dana, bank syariah mengandalkan akad-akad seperti mudharabah, musyarakah, atau murabahah. Maka, pengelolaan risiko likuiditas, mismatching (ketidaksesuaian jatuh tempo aset-liabilitas), dan perubahan nilai pasar menjadi lebih kompleks namun vital.
Dalam beberapa tahun terakhir, bank syariah harus menavigasi berbagai gejolak. Naiknya suku bunga acuan global mendorong kompetisi dalam penghimpunan dana. Meski bank syariah tidak berbasis bunga, mereka tetap harus bersaing menarik dana masyarakat. Digitalisasi dan disrupsi teknologi finansial (fintech) mengubah cara masyarakat menyimpan dan meminjam uang. Ketergantungan tinggi pada sektor riil membuat bank syariah lebih rentan terhadap perlambatan ekonomi makro.
Di sinilah ALMA berperan penting. Melalui pengelolaan likuiditas harian, pengukuran gap analysis, dan simulasi skenario risiko, tim treasury bank syariah dapat:
- Menentukan strategi penempatan dana (investment placement) secara hati-hati.
- Menghindari mismatch antara arus masuk dan keluar dana.
- Mengelola cadangan likuiditas jangka pendek agar tetap sesuai dengan kebutuhan harian nasabah tanpa mengorbankan profitabilitas.
- Menurut data dari Islamic Financial Services Board (IFSB), lembaga keuangan syariah global menunjukkan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya ALMA. Lebih dari 65% bank syariah di kawasan MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) kini telah mengadopsi pendekatan ALMA berbasis teknologi, seperti real-time risk monitoring dan integrasi data analytics.
Di Indonesia, Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank syariah terbesar juga telah mengembangkan sistem manajemen treasury modern. Dalam laporan tahunannya, BSI menyatakan bahwa ALMA bukan sekadar fungsi keuangan, tapi juga sebagai alat untuk menjaga keberlanjutan model bisnis syariah di masa depan.
Dengan pertumbuhan aset bank syariah Indonesia yang mencapai Rp844 triliun pada 2023 (data OJK), ketahanan likuiditas dan pengelolaan portofolio aset-liabilitas menjadi isu krusial. Jika ALMA dijalankan secara lemah, bank syariah bisa kesulitan membayar kewajiban jangka pendek, gagal menyesuaikan nilai aset saat pasar berubah, atau bahkan kehilangan kepercayaan publik.
Lebih jauh lagi, implementasi ALMA yang baik juga akan mendukung bank syariah memenuhi ketentuan Basel III dan standar IFSB tentang manajemen risiko dan kecukupan modal.
Bank syariah bukan hanya entitas bisnis, ia adalah representasi sistem keuangan yang adil, stabil, dan etis. Untuk menjaga nilai-nilai itu tetap relevan di tengah gempuran ekonomi modern, peran ALMA sebagai pengatur irama keuangan tidak bisa diabaikan. Ketangguhan bank syariah tidak lagi hanya diukur dari seberapa syariah akadnya, tapi juga dari seberapa cermat ia mengelola risiko, likuiditas, dan keseimbangan neraca keuangannya.