Kaltim Menuju Pusat Keuangan Hijau Syariah di Tengah Pembangunan IKN

Kaltim Menuju Pusat Keuangan Hijau Syariah di Tengah Pembangunan IKN
Ilustrasi

Oleh: Nadhrah Ilmina Dilsyaadi, Mahasiswi Program Studi Manajemen Bisnis Syariah angkatan 23, Universitas Tazkia, Bogor

Kalimantan Timur kini bukan hanya dikenal sebagai daerah kaya sumber daya alam, melainkan juga sebagai poros baru ekonomi nasional. Hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN) membuka peluang lebih besar: menjadikan Kaltim sebagai pusat keuangan hijau syariah di Asia Tenggara.

Semangat membangun IKN sebagai “kota masa depan” tertuang dalam Roadmap ESG 2023 Otorita IKN yang menargetkan pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan berakar pada kelestarian lingkungan. Visi ini memberikan momentum besar bagi industri keuangan, khususnya perbankan syariah, untuk mengambil peran strategis.

Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi salah satu pelopor. Hingga pertengahan 2024, BSI mencatatkan pembiayaan hijau sebesar Rp13,4 triliun, melampaui target awal. Pada akhir 2024, total pembiayaan berkelanjutan mereka menembus Rp66,5 triliun, dengan Rp14,1 triliun khusus untuk proyek-proyek hijau seperti energi terbarukan.

Kinerja ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan bisnis, tetapi juga kualitas—NPF sektor hijau BSI tercatat 0%. Artinya, sektor ini memiliki potensi tumbuh secara sehat, minim risiko. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang mengedepankan keberlanjutan, keadilan, dan kebermanfaatan sosial.

Lebih jauh, dampak sosialnya mulai terasa. UMKM di sekitar wilayah IKN, khususnya di bidang pertanian organik dan pengembangan energi bersih, mulai merasakan manfaat pembiayaan syariah. Pendekatan keuangan yang sesuai prinsip syariah—seperti sukuk hijau dan pembiayaan berbasis mudharabah—memungkinkan pelaku usaha kecil menengah mengakses modal secara adil.

Dalam konteks ini, Al-Qur'an mengingatkan:

"...Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya." (QS. Al-A'raf: 56).

Ayat ini menjadi dasar moral bagi pengembangan keuangan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga menjaga keseimbangan alam.

Namun, untuk menjadikan Kaltim sebagai model keuangan hijau syariah, berbagai tantangan perlu diatasi: literasi keuangan syariah dan pemahaman ESG di tingkat masyarakat masih rendah. Selain itu, perlu ada penguatan pengawasan agar setiap pembiayaan hijau benar-benar memenuhi prinsip syariah dan tidak sekadar berlabel “hijau”.

Meski demikian, peluang penguatan keuangan hijau syariah di Kaltim ke depan terbuka lebar. Dengan diluncurkannya ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance pada tahun 2023, potensi integrasi standar keuangan hijau lintas negara makin besar. Kaltim bisa menjadi pionir keuangan hijau syariah yang menarik minat investor global yang fokus pada ESG dan keuangan etis.

Di sisi lain, pengembangan produk inovatif juga dapat didorong. Produk seperti waqf-linked sukuk—kombinasi antara wakaf dan sukuk hijau—berpeluang besar menarik minat donatur dan investor filantropis. Selain itu, pengembangan green microfinance untuk kelompok petani, nelayan, dan UMKM berbasis komunitas, serta pemanfaatan platform fintech syariah, akan memperluas akses pembiayaan hijau yang terjangkau dan sesuai prinsip syariah.

Pemanfaatan teknologi digital juga akan memainkan peran krusial. Aplikasi mobile banking syariah memungkinkan pelaku usaha di wilayah pedesaan dan pelosok mengakses layanan pembiayaan hijau dengan lebih mudah. Sementara itu, penggunaan big data dan artificial intelligence (AI) dalam proses penilaian kelayakan proyek hijau akan membantu perbankan syariah dalam membuat keputusan pembiayaan yang lebih akurat dan transparan.

Dari sisi regulasi, dukungan pemerintah makin menguat. Fatwa DSN-MUI tentang sukuk hijau syariah tengah difinalisasi, dan pemerintah berencana memasukkan penguatan keuangan hijau syariah dalam Rencana Aksi Nasional Keuangan Berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa ekosistem yang mendukung pertumbuhan keuangan hijau syariah perlahan tapi pasti sedang dibangun.

Lebih jauh, pengembangan keuangan hijau syariah di Kaltim juga akan berkontribusi langsung pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), serta SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Ini memperkuat posisi keuangan syariah bukan hanya sebagai pilar ekonomi umat, tetapi juga sebagai pendorong agenda pembangunan berkelanjutan.

Agar transformasi ini berjalan optimal, penguatan SDM menjadi hal yang krusial. Diperlukan peningkatan kapasitas bankir syariah yang memahami integrasi ESG dan fiqh muamalah. Selain itu, riset-riset akademik yang lebih mendalam tentang pengembangan keuangan hijau syariah juga perlu terus didorong. Lembaga pendidikan seperti Universitas Tazkia, STEI SEBI, dan lainnya diharapkan menjadi motor penggerak dalam mencetak SDM unggul di bidang ini.

Ke depan, keputusan Basel Committee pada Juni 2025 yang membuat pelaporan risiko iklim bersifat sukarela justru membuka ruang bagi perbankan syariah untuk tampil proaktif. Inovasi produk seperti qardhul hasan untuk petani lokal, serta pengembangan sukuk hijau yang menarik minat investor etis, merupakan contoh inisiatif yang bisa diperluas.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR. Ahmad).

Keuangan hijau syariah di Kaltim bukan hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga pada kemaslahatan yang luas bagi masyarakat dan lingkungan. Bila semua langkah ini terus dikembangkan dan disinergikan antara pemda, otoritas IKN, lembaga keuangan, serta masyarakat sipil, Kalimantan Timur tak sekadar dikenal sebagai lokasi IKN, melainkan juga sebagai episentrum baru keuangan hijau berbasis syariah di Asia Tenggara—sebuah model inspiratif yang mengedepankan keberlanjutan, keadilan, dan kemaslahatan bagi umat dan alam.

 

#Artikel Mahasiswa

Index

Berita Lainnya

Index