UHC: Universal Health Coverage

oleh: DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA *)   Ketika 193 negara atau semua anggota PBB menyetujui agenda ambisius dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau ‘the Sustainable Development Goals‘ (SDG) di New York tahun 2016, kita semua sepakat akan menciptakan dunia yang lebih aman, lebih adil, dan lebih sehat pada tahun 2030. Tujuan tersebut mencakup ruang lingkup yang sangat luas, tetapi salah satu sasarannya yaitu untuk mencapai cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC). UHC didasarkan pada prinsip bahwa semua anggota masyarakat harus menerima layanan kesehatan yang berkualitas yang mereka butuhkan, tanpa mengalami kesulitan keuangan. Masih jauhkah UHC? UHC dalam padangan Prof. Amartya Sen, penerima Hadiah Nobel Bidang Ekonomi tahun 1998, adalah "mimpi yang terjangkau". Selain itu, ‘The Commission on Health Employment and Economic Growth’ bulan September 2016, menjelaskan bahwa investasi pada sektor kesehatan tidak hanya berdampak meningkatkan populasi yang sehat, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, UHC tidak hanya menjamin dan menjaga kesehatan, tetapi juga kesejahteraan individu dan masyarakat. UHC meningkatkan lowongan pekerjaan dan peluang ekonomi, khususnya bagi perempuan dan pemuda, sebagai bagian dari program mengakhiri kemiskinan. WHO memperkirakan bahwa biaya untuk pelayanan kesehatan global, telah mendorong 100 juta orang ke dalam kemiskinan setiap tahun. Secara global, 20-40% sumber daya yang dihabiskan untuk sektor kesehatan, ternyata terbuang percuma. Penyebab yang umum adalah inefisiensi, duplikasi pelayanan, dan penggunaan obat dan teknologi kedokteran yang berlebihan. Dengan menerapkan UHC tentu saja akan membantu semua pihak, untuk menghilangkan kemiskinan ini. Hal ini telah dibuktikan oleh banyak negara dalam beberapa tahun terakhir, yang telah menambah cakupan layanan kesehatan utama dan jaminan pembiayaan untuk warganya. Jepang, Moldova, Peru, Sri Lanka, Thailand dan Turki telah menunjukkan bahwa negara dapat membuat kemajuan dramatis terhadap UHC, melalui reformasi sistem kesehatan yang dapat memberikan manfaat dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan politik yang cukup besar. Selain itu, Perancis pada tahun 2008 telah menghemat hampir US$ 2 miliar dengan sistem jaminan kesehatan yang sedapat mungkin menggunakan obat generik. Dengan cara yang serupa, peningkatan akses anak ke layanan kesehatan dengan obat generik yang terjangkau, diprediksi mampu mencegah atau memperbaiki penyakit, yang menyebabkan lebih dari 8,1 juta kematian anak balita setiap tahun secara global. Thailand telah menerapkan sistem pembayaran satu paket layanan kesehatan dari dana prabayar, yaitu campuran pajak dan kontribusi asuransi. Kyrgyzstan telah menyatukan pendapatan umum dengan pajak penghasilan dan asuransi. Ghana telah mendanai program kesehatan nasional dengan meningkatkan pajak pertambahan nilai sebesar 2,5%. Semua kebijakan politik di berbagai negara tersebut, bertujuan untuk meningkatkan anggaran jaminan kesehatan. Bagaimana UHC di Indonesia? Sejarah JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) diawali dari tahun 1949 saat Dr. Leimena, Menteri Kesehatan jaman revolusi yang berkantor di RS Bethesda Jl. Jend. Sudirman 70 Yogyakarta, mengutus Dr. Siwabessy dengan beasiswa dari British Council, untuk studi lanjutan bidang radiologi di Universitas London dan Rumah Sakit Hammersmith London, Inggris. Saat itu beliau juga mempelajari sistem kesejahteraan di bidang kesehatan, kemudian dikembangkan di Indonesia dengan nama Asuransi Kesehatan (Askes), saat Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy menjabat Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 1966 sampai 1978. Kemudian berlanjut dari Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sesuai dengan UUD 1945 dan perubahannya Tahun 2002. Melalui proses yang panjang, akhirnya Presiden Megawati mensahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN pada 19 Oktober 2004, sehingga Indonesia masuk dalam daftar ‘negara dengan jaminan sosial’. Dalam melaksanakan UU SJSN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk pogram JKN, sebuah program layanan kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan bagi seluruh penduduk Indonesia, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014. Pada 27 Desember 2016 jumlah total faskes provider JKN baru sebanyak 26.220 buah, dan akan terus ditingkatkan sesuai amanat UU sampai semua faskes menjadi provider JKN. Selain itu, juga memperluas kepesertaan sampai mencakup seluruh penduduk Indonesia atau UHC paling lambat pada 1 Januari 2019. Pada ‘World Health Report’ 2010, jelas tercantum bahwa reformasi sistem pembiayaan kesehatan sangat penting untuk terciptanya UHC. Semua negara wajib menerapkan strategi reformasi kesehatan, yang bergerak cepat menuju UHC dengan cara yang adil. Langkah pertama adalah meningkatkan layanan kesehatan primer, fokus pada pemenuhan kebutuhan kelompok rentan seperti orang miskin, perempuan, anak perempuan dan remaja, serta populasi disabilitas dan lansia. Layanan kesehatan primer yang kuat adalah nyawa dari setiap sistem kesehatan, dan tidak ada satupun negara yang dapat mencapai UHC, tanpa penguatan hal itu. Layanan kesehatan primer adalah lini pertama yang penting dari mekanisme pertahanan terhadap wabah penyakit menular, serta mampu memperlambat perjalanan alamiah penyakit tidak menular, dan sangat penting bagi penigkatan derajad kesehatan ibu dan anak, yang merupakan kelompok pengguna utama. Pemantauan UHC meliputi proporsi penduduk dengan akses ke layanan kesehatan dan proporsi rumah tangga yang menghabiskan lebih dari 25% pendapatan mereka untuk biaya kesehatan. Negara dengan sistem kesehatan yang telah mencapai UHC, tidak hanya memiliki derajad kesehatan yang lebih baik, tetapi juga meningkatkan simpanan dana milik warga, rumah tangga dan seluruh negara. Kita semua wajib berkontribusi mencapai UHC, sebuah "mimpi yang terjangkau", dalam perbaikan sistem JKN dengan bergotong royong, agar semua tertolong. Sudahkah kita terlibat membantu?   *) DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA adalah Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM

Berita Lainnya

Index