Kasus Bioremediasi: Jaksa Keliru Tulis Dasar Peraturan Untuk Dakwaan

JAKARTA (RiauInfo) - Jumat lalu (26/4) sidang perkara bioremediasi Chevron telah mendengarkan tuntutan jaksa atas terdakwa Herlan bin Ompo, selaku Direktur PT Sumigita Jaya, dan Ricksy Prematuri, selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), keduanya merupakan kontraktor yang ditunjuk CPI untuk menjalankan proyek bioremediasi di operasi CPI di Riau.
Dalam sidang tersebut Herlan dituntut oleh jaksa penuntut umum agar dihukum dengan pidana penjara selama 15 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan. Selain itu, Herlan juga dituntut untuk membayar denda senilai Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan diwajibkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai US$ 6,9 juta.Sementara itu Ricksy dituntut oleh jaksa penuntut umum agar dihukum dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan membayar denda sebesar Rp 1 milyar serta uang pengganti sebesar US$ 3,08 juta atau sama dengan jumlah yang dibayarkan PT CPI ke PT GPI. Jaksa mengabaikan fakta bahwa jumlah tersebut dibayarkan ke PT GPI sebagai perusahaan, bukan ke Ricksy sebagai individu. Dalam tuntutannya, jaksa tidak menggunakan aturan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128/2003 yang menyebutkan bahwa tanah tercemar dengan total petroleum hydrocarbon (TPH) di bawah 15 persen harus dibersihkan sebagai dasar, melainkan hanya menggunakan keterangan saksi ahli bernama Edison Effendi yang menyebutkan bahwa tanah yang harus dibersihkan hanya yang memiliki TPH sebesar 7,5-15%. Menyoal soal perbedaan aturan mengenai TPH yang dipakai jaksa ini, terdakwa karyawan CPI, Kukuh Kertasafari melaporkan pelanggaran Peraturan Jaksa Agung atas Jaksa Supracoyo kepada Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen pada Kamis, 25 April 2013. Kukuh menilai bahwa Supracoyo telah melanggar Peraturan Jaksa No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, Pasal 3 Huruf a, dimana dikatakan bahwa Jaksa wajib “mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku” dan melanggar peraturan kedinasan yaitu Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 3 Angka 9, dimana dikatakan bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara. Dalam laporannya Kukuh menyatakan bahwa Jaksa Supracoyo tidak cermat dalam penyusunan Surat Dakwaan Kukuh (No. REG. PERK PDS: 18/JKT.SL/12/2012). Dalam surat dakwaan pada halaman 3, huruf a, alinea kedua dan halaman 9, huruf a, alinea kedua di mana tertulis, “Berdasarkan Kepmen LH No. 128 tahun 2003, bahwa konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrokarbon) +7.5 – 15% dengan standar hasil bioremediasi ≤ 1%...”. Padahal di Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 tidak dikatakan “+7.5% - 15%”, namun hanya dikatakan bahwa konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15%. Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan membenarkan mengenai laporan Kukuh ke Komisi Kejaksaan ini dan menerangkan bahwa para terdakwa pernah juga melapor ke Komjak sebelumnya yaitu pada Desember 2012 menyoal cara-cara penanganan kasus oleh jaksa selama penyelidikan dan penyidikan yang dinilai oleh terdakwa dan penasehat hukum tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dony menjelaskan bahwa Chevron terus mendukung upaya lapor ke Komjak ini mengingat kekeliruan yang dibuat jaksa sangat serius karena penulisan syarat TPH yang salah dan tidak sesuai dengan KepMen LH 128/2003 ternyata menjadi dasar tuntutan jaksa atas terjadinya tindakan korupsi yang dituduhkan kepada karyawan dan kontraktor CPI. Karena Kepmen LH mengharuskan untuk membersihkan tanah dengan TPH maksimal 15% dan TPH 1% dianggap aman untuk lingkungan maka tanah dengan TPH lebih dari 1% pun berdasarkan Kepmen ini tetap harus dibersihkan. “Saksi-saksi fakta dan ahli dalam persidangan telah menjelaskan tentang keberadaan proyek, kepatuhan atas peraturan dan hasil nyata dari proyek bioremediasi ini. Kami percaya bahwa penilaian yang obyektif oleh majelis hakim terhadap fakta-fakta proyek bioremediasi ini akan semakin menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek lingkungan yang berhasil dan taat hukum,” ujar Dony.(zas/rls)

Berita Lainnya

Index