JAKARTA (RiauInfo) - Greenpeace mempertanyakan dasar hukum kelanjutan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Batang, Jawa Tengah.
Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengutip pernyataan Deputi Infrastruktur Menko Perekonomian Luky Eko Wuryanto kepada Kantor Berita Kyodo (7 Oktober 2014) bahwa
financial closing untuk proyek PLTU Batang diperpanjang sepanjang satu pekan hingga PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) mencapai kesepakatan.
“Greenpeace mempertanyakan landasan hukum atas perpanjangan tenggat waktu ini. Perpanjangan tenggat waktu ini bisa jadi melanggar hukum Indonesia,” tegasnya pada 8 Oktober 2014.
Pasalnya Peraturan Presiden No. 66 tahun 2013 menyatakan apabila perusahaan gagal menyelesaikan proses akusisi lahan sesuai dengan waktu yang ditentukan dan tidak dapat memenuhi tenggat waktu (6 Oktober 2014), maka kesepakatan antara pemerintah dan konsorsium akan berakhir dan proyek harus dibatalkan. Sebab itu kegiatan konsorsium di wilayah Batang harus segera dihentikan, hingga ada kejelasan hukum.
“Saat ini perusahaan telah gagal dalam memenuhi target pelepasan lahan sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan, sebab itu legalitas perpanjangan proyek ini proyek Batang ini menjadi tanda tanya besar Arif menekankan.
Proyek PLTU Batang tidak dapat memenuhi tenggat waktu pertama, yaitu pada 6 Oktober 2012, demikian tenggat waktu kedua pada 6 Oktober 2013. Oleh karena itu Presiden mengeluarkan Perpres No 66 tahun 2013 yang menyatakan perpanjangan selama 12 bulan, dengan batas waktu 6 Oktober 2014, yaitu dua hari lalu.
Salah satu yang menjadi masalah utama adalah penolakan warga untuk menolak tanahnya. Roidi, salah satu perwakilan warga menegaskan penolakan dilancarkan lantaran warga tak ingin kehilangan lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. “Apa yang ahrus kami lakukan saat PLTU mencemari tanah dan air kami? Haruskah kami makan batu bara dan semakin termiskinkan?” tegasnya.
Arif melanjutkan, proyek sarat skandal tersebut kini membutuhkan dukungan finansial agar tetap dapat berjalan. “Saat ini pemerintah akhirnya memundurkan lagi proyek PLTU Batang, untuk mengamankan dukungan finansial dalam sepekan ini. Apabila konsorsium tak kunjung mendapatkan dana, maka proyek tersebut secara hukum harus dibatalkan.”
Greenpeace meminta The Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) untuk segera menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek pengembangan energi fosil kotor seperti PLTU Batang. Tanpa pendanaan dari JBIC, proyek ini tidak dapat dilanjutkan.
Apalagi proyek US$4 juta yang digadang-gadang menjadi PLTU terbesar se-Asia Tenggara ini telah diwarnai oleh berbagai aksi kekerasan dan intimidasi oleh pihak keamanan swasta dan pihak ketiga yang disewa oleh perusahaan untuk menakuti warga. Selain itu perusahaan juga tak segan mengkriminalisasi warga.