Oleh: Rayhan Wardhana Mahasiswa Universitas Tazkia
Pemerintah Indonesia telah lama menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Namun, lebih dari dua dekade setelah reformasi pendidikan digulirkan, kesenjangan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia masih menjadi persoalan yang serius.
Hingga tahun 2024, data Kementerian Pendidikan menunjukkan masih terdapat ribuan sekolah dasar di daerah tertinggal yang kekurangan tenaga pendidik. Provinsi seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku menempati posisi terendah dalam indeks pemerataan pendidikan. Sementara itu, sekolah-sekolah di kota besar semakin maju dengan dukungan teknologi dan tenaga pengajar yang kompeten. Ketimpangan inilah yang menandakan bahwa cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya terwujud secara merata.
Kesenjangan pendidikan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor geografis. Akar persoalannya jauh lebih kompleks—mulai dari distribusi anggaran yang tidak proporsional, minimnya infrastruktur digital, hingga rendahnya minat tenaga pendidik untuk bertugas di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Di beberapa wilayah terpencil, anak-anak masih harus berjalan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah. Kondisi ini sangat kontras dengan kehidupan di kota besar, di mana akses terhadap pendidikan formal maupun informal sangat mudah didapat.
Permasalahan lain muncul dari sisi kualitas pembelajaran. Hasil asesmen PISA 2022 menunjukkan bahwa skor kemampuan membaca dan matematika siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Ironisnya, kesenjangan performa juga tampak antara siswa di wilayah Jawa dan luar Jawa. Fakta ini menegaskan bahwa belum semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang melalui pendidikan.
Sebagai warga negara, masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, tetapi juga kewajiban moral untuk mendukung pemerataan akses pendidikan. Di sinilah pentingnya kesadaran kewarganegaraan (citizenship awareness), yakni pemahaman bahwa mencerdaskan bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.
Kesadaran kebangsaan (national insight) seharusnya mendorong setiap individu untuk berperan aktif dalam mengatasi ketimpangan pendidikan. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai upaya, seperti gerakan literasi di desa, program pengabdian masyarakat oleh mahasiswa, atau inisiatif sektor swasta yang mendukung pendidikan digital di daerah terpencil. Sayangnya, nilai tanggung jawab kewarganegaraan ini belum sepenuhnya tertanam kuat dalam budaya sosial masyarakat Indonesia.
Politik Anggaran dan Ketimpangan Struktural
Meskipun anggaran pendidikan selalu menjadi salah satu yang terbesar dalam APBN—mencapai 20% dari total belanja negara—distribusinya masih belum sepenuhnya adil. Sebagian besar dana terserap untuk kebutuhan birokrasi, bukan untuk memperbaiki fasilitas belajar atau meningkatkan kesejahteraan guru di daerah. Akibatnya, pembangunan pendidikan menjadi timpang: megah di kota, namun rapuh di pelosok.
Kritik terhadap kebijakan pendidikan sering kali diarahkan pada lemahnya kemauan politik dalam mewujudkan pemerataan yang sesungguhnya. Pemerintah pusat dan daerah kerap terjebak dalam proyek jangka pendek, seperti pembangunan fisik gedung sekolah, tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran dan akses pendidikan yang berkelanjutan.
Membangun Kesadaran Kolektif
Menumbuhkan wawasan kebangsaan dalam konteks pendidikan berarti membangun empati dan kesadaran bahwa anak-anak di pelosok negeri adalah bagian dari masa depan bangsa yang sama. Jika ketimpangan ini terus dibiarkan, maka cita-cita membentuk Generasi Emas Indonesia 2045 hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Solusinya tidak hanya terletak pada reformasi kebijakan, tetapi juga pada transformasi budaya kewarganegaraan. Setiap warga negara perlu menanamkan kesadaran bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi hak, tetapi juga menjadi wujud nyata dari cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang sejati.
 
                    
 
                 
                   
                   
                   
                   
                  