Hidup di Era Algoritma: Ketika Kita Disetir Tanpa Sadar

Hidup di Era Algoritma: Ketika Kita Disetir Tanpa Sadar
Ilustrasi

Oleh: Farras Jundi Al Kautsar, Universitas Tazkia Bogor.

Pernah nggak sih ngerasa kayak FYP tahu banget isi kepala kita? Baru aja ngomong soal kopi, tiba-tiba muncul video racikan kopi susu gula aren versi “hidden gem” Jakarta Selatan. Ajaib? Enggak juga. Itulah algoritma, makhluk tak kasat mata yang pelan-pelan jadi sutradara hidup digital kita.

Di zaman sekarang, manusia udah nggak cuma hidup berdampingan sama teknologi — tapi juga dikendalikan olehnya, perlahan dan halus. Tanpa sadar, kita dikurasi, disetir, bahkan “dibentuk” oleh rekomendasi-rekomendasi yang muncul di layar.

Ketika Algoritma Jadi Pengendali Baru

Dulu, kita yang nyari informasi. Sekarang, informasi yang nyari kita — atau lebih tepatnya, algoritma yang memilihkan informasi untuk kita. YouTube tahu video mana yang bakal bikin kita betah nonton sampai tengah malam. TikTok tahu jenis konten yang paling cocok buat mood kita hari ini. Bahkan Spotify tahu kapan kita lagi galau dan butuh playlist yang “menyembuhkan luka batin”.

Masalahnya, semua kenyamanan itu datang dengan harga: kebebasan berpikir.

Kita jadi hidup di “gelembung personalisasi”, di mana semua yang muncul di layar cuma hal-hal yang pengen kita lihat, bukan yang perlu kita tahu. Akibatnya, wawasan kita sempit, pandangan makin bias, dan tanpa sadar, kita terjebak dalam ekor panjang dari apa yang disebut filter bubble.

Disetir dengan Halus, Bukan Dipaksa

Yang bikin algoritma berbahaya justru karena dia halus banget cara mainnya. Dia nggak pernah maksa kita. Dia cuma “ngasih saran” — tapi saran itu begitu akurat, sampai kita lupa buat milih sendiri.

Bayangin aja: kamu buka TikTok buat cari resep ayam geprek, lima menit kemudian kamu udah nonton video debat politik, prank pacar, dan ending-nya — live orang jualan daster. Semua terasa mengalir. Tapi coba lihat jam, udah sejam lewat.

Algoritma itu kayak teman yang tahu banget selera kita, tapi sekaligus tahu cara bikin kita lupa waktu. Dan di situlah letak kekuatannya: dia paham kelemahan manusia — rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan keinginan buat dihibur.

Ekonomi Perhatian dan Waktu yang Dicuri

Di dunia digital, perhatian adalah mata uang baru.

Semakin lama kita bertahan di satu aplikasi, semakin besar peluang mereka jual data kita ke pengiklan. Jadi jangan kaget kalau setelah nonton video tentang “cara merawat kucing”, tiba-tiba timeline kamu penuh iklan makanan kucing.

Semuanya dihitung. Waktu kamu klik, scroll, berhenti sejenak, bahkan ekspresi wajah kalau kamu aktifin kamera — semua jadi bahan bakar buat mesin algoritma yang haus data.

Di titik ini, kita nggak cuma pengguna, tapi juga produk. Kita bayar dengan waktu, fokus, dan kadang kewarasan.

Apakah Solusinya Logout dari Dunia Digital?

Sayangnya, nggak semudah itu.

Kita hidup di dunia yang sudah terlalu terhubung. Kerja, belajar, bahkan ibadah sekarang sebagian besar butuh teknologi. Tapi bukan berarti kita harus pasrah disetir algoritma.

Kuncinya: sadar dan selektif.

Mulai dari hal kecil, kayak ngatur waktu online, milih konten dengan sadar, sampai berani ngescroll dengan niat. Kalau mau nonton video lucu, ya nonton aja — tapi tahu kapan berhenti. Kalau mau baca berita, cari dari berbagai sumber biar nggak kejebak satu sudut pandang aja.

Dan mungkin, sesekali kita perlu “puasa algoritma” — offline satu hari, biar otak kita istirahat dari bombardir informasi yang nggak penting.

Akhirnya, Kita yang Pegang Kendali (Kalau Mau)

Algoritma bukan musuh. Dia cuma alat, tapi bisa berbahaya kalau kita memperlakukannya tanpa sadar. Sama seperti pisau: bisa buat masak, bisa juga buat melukai. Bedanya, kalau pisau kita tahu cara pakainya — algoritma, banyak yang belum sadar sudah “terpakai”.

Di dunia yang makin dikendalikan data, kesadaran adalah bentuk kendali paling sederhana.

Jadi lain kali pas FYP kamu kayak tahu isi hatimu, ingatlah: itu bukan keajaiban. Itu cuma hasil analisis ribuan klik kamu sebelumnya.

Dan di titik itu, kamu bisa senyum dikit sambil bilang:

“Nice try, algoritma. Kali ini, aku yang milih.”

 

 

#Artikel Mahasiswa

Index

Berita Lainnya

Index