OPINI

Deteksi Dini Kanker Paru melalui Pemeriksaan Radiologi, Langkah Awal Selamatkan Nyawa

Deteksi Dini Kanker Paru melalui Pemeriksaan Radiologi, Langkah Awal Selamatkan Nyawa
Hari Kanker Paru Sedunia 2025 (gambar: Kemenkes RSCM)

Oleh: Erwin Yudhistira Y Indrarto, Dokter spesialis radiologi di RSUD dr. TC Hillers Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur

Pada tanggal 1 Agustus 2025 lalu, dunia kesehatan memperingati hari kanker paru sedunia. 

Peringatan Hari Kanker Paru Sedunia bertujuan meningkatkan kesadaran kita mengenai faktor risiko dan gejala kanker paru, serta menekankan pentingnya melakukan skrining atau penapisan lebih awal untuk mendeteksi adanya kanker paru. 

Apa yang perlu kita ketahui lebih lanjut?

Kanker paru adalah penyakit yang terjadi ketika sel-sel abnormal tumbuh tak terkendali di paru-paru, dan merupakan kesehatan serius yang dapat menyebabkan kerusakan parah di tubuh serta kematian. 

Pada tahun 2023, WHO menyatakan kanker paru merupakan penyebab kematian akibat kanker paling umum pada pria dan wanita di seluruh dunia, serta 85 persen kasus kanker paru berkaitan dengan kebiasaan merokok. 

Berdasarkan data dari Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (International Agency for Research on Cancer/IARC) pada tahun 2022, terdapat sekitar 2,5 juta kasus kanker baru dengan jumlah terbanyak atau sekitar 12,4 persen dari seluruh kanker di dunia merupakan kanker paru. 

Kanker paru merupakan kanker yang paling umum terjadi pada pria dan menjadi penyebab utama kematian akibat kanker, dengan perkiraan sebanyak 1,8 juta kematian ( 18,7 persen). 

Selain itu, Kementerian Kesehatan RI mencatat adanya sekitar 34.000 kasus baru kanker paru di Indonesia, dengan angka kematian yang tinggi yaitu hampir 88 persen, atau sekitar 30.000 hingga 31.000 kasus setiap tahunnya.

Gejala kanker paru meliputi batuk yang tidak kunjung sembuh lebih dari 2 minggu, nyeri dada, sesak napas, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, infeksi paru berulang, dan mudah lelah. 

Batuk darah juga dapat ditemukan pada pasien dengan tumor paru yang terletak lebih di bagian tengah dada. 

Selain itu, terdapat gejala nyeri dada yang terlokalisir dan bersifat tajam (nyeri dada pleuritik) pada pasien dengan kanker paru yang terletak di bagian lebih ke tepi dada. 

Sedangkan kurang dari 10 persen pasien tidak menunjukkan gejala ketika tumor terdeteksi sebagai temuan insidental.

Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya kanker paru.

Faktor risiko pertama yang terpenting adalah merokok, terutama pada perokok aktif, meskipun risiko juga meningkat pada perokok pasif. 

Merokok menjadi penyebab 80–90 persen kasus kanker paru. Selain itu, risiko seumur hidup terkena kanker paru pada perokok pria adalah sekitar 17 persen, dan pada perokok wanita sekitar 12 persen, serta pada bukan perokok sekitar 1,5 persen. 

Jadi, meskipun seseorang tidak merokok, orang tersebut tetap ada kemungkinan terkena kanker paru namun kemungkinannya jauh lebih rendah dibanding dengan orang yang merokok. 

Selain itu, risiko menderita kanker paru juga lebih tinggi pada orang dengan paparan jangka panjang terhadap senyawa seperti radon, asbes, hidrokarbon aromatic polisiklik, vinil klorida, nikel, dan kromium, serta asap knalpot mesin diesel. 

Senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang nantinya meningkatkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali.

Selain kebiasaan merokok dan paparan senyawa yang disebutkan sebelumnya, para ahli menemukan bahwa perkembangan penyakit kanker paru juga dipengaruhi oleh factor genetik yang diwariskan. 

Beberapa orang yang mewarisi perubahan genetik akan lebih membuat mereka rentan terhadap kanker paru. 

Hal tersebut penting untuk diketahui terutama pada orang yang memiliki keluarga dekat mengalami kanker paru. 

Individu yang memiliki faktor risiko tersebut juga didorong dapat melakukan deteksi lebih dini untuk melakukan skrining kanker paru, sehingga bila dapat terdeteksi lebih awal, maka pengobatan dapat lebih optimal.

Apakah deteksi dini kanker paru penting?

Pada pasien dengan gejala batuk terus-menerus, nyeri dada, atau sesak napas, mungkin sudah terlambat untuk melakukan deteksi dini, dan penyakit kanker paru mungkin sudah stadium lanjut. 

Tetapi ketika kanker paru dideteksi lebih dini dan masih terlokalisasi di satu area paru, hal tersebut dapat memberikan harapan terbaik untuk kesembuhan. 

Kanker paru stadium I memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahun dapat lebih besar dari 60–70 persen, sedangkan untuk stadium IV tingkat kelangsungan hidup lima tahun menjadi kurang dari 10-20 persen.

Dalam bidang radiologi, deteksi dini kanker paru dapat dilakukan melalui pemeriksaan rontgen dada yang merupakan pemeriksaan lini pertama dalam menilai gejala batuk kronis, penurunan berat badan, atau gejala lain yang berhubungan dengan dada.

Pemeriksaan ini juga sering digunakan dalam medical check up tahunan, karena alat rontgen sudah cukup banyak tersedia di banyak rumah sakit. 

Selain hal tersebut, rontgen dada memiliki keunggulan biaya pemeriksaan yang relatif terjangkau dan memiliki paparan radiasi yang kecil. 

Namun, penelitian menunjukkan bahwa rontgen dada tidak cukup sensitif untuk mendiagnosis kanker paru berukuran kecil atau stadium awal.

Deteksi kanker paru yang masih berukuran kecil atau terletak di area yang sulit terlihat pada pemeriksaan rontgen dada memerlukan pemeriksaan lanjutan yang lebih canggih, yaitu menggunakan CT scan/computed tomography. 

Pemeriksaan CT scan memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan rontgen dada dalam mendeteksi kanker paru. 

Namun pemeriksaan CT scan membutuhkan biaya pemeriksaan yang lebih mahal dan memiliki paparan radiasi yang lebih besar dibandingkan dengan rontgen dada. 

Untuk mengatasi masalah paparan radiasi yang lebih tinggi, protokol pemeriksaan CT scan dada dapat dimodifikasi sehingga paparan radiasi yang diterima pasien dapat dikurangi hingga enam kali lebih rendah dibanding protokol biasanya. 

Metode ini dikenal dengan low dose CT scan/LDCT. Selain itu, The National Lung Screening Trial/NLST Amerika juga merekomendasikan skrining tahunan menggunakan pemeriksaan LDCT bagi individu tanpa gejala, berusia 55 hingga 77 tahun yang telah merokok 30 bungkus per tahun atau lebih, dan terus merokok atau telah berhenti merokok dalam 15 tahun terakhir. 

LDCT mampu mendeteksi kelainan yang dicurigai sebagai tumor, termasuk tumor yang masih dalam tahap awal dan belum terlihat melalui rontgen dada. 

Penelitian juga menunjukkan bahwa skrining tahunan menggunakan LDCT pada orang yang berisiko menderita kanker paru dapat menurunkan angka kematian akibat kanker paru hingga 20-25 persen.

Pemeriksaan radiologi, seperti rontgen dada dan LDCT, memegang peranan penting dalam mendeteksi kanker paru sejak tahap awal. 

Penelitian juga menunjukkan dengan melakukan pemeriksaan skrining tahunan, tingkat kelangsungan hidup pasien kanker paru dalam lima tahun dapat meningkat dari 27 persen menjadi 64 persen. 

Namun, hingga saat ini masih banyak individu dengan risiko tinggi yang belum secara mandiri menjalani pemeriksaan skrining tersebut. 

Padahal, keterlambatan dalam mendeteksi kanker paru dapat menimbulkan beban biaya pengobatan yang tinggi, menurunkan produktivitas, serta berdampak psikologis yang signifikan bagi pasien dan keluarganya. 

Oleh karena itu, penguatan strategi deteksi dini perlu terus diupayakan sebagai suatu cara dalam menekan angka kematian akibat kanker paru.

 

Berita Lainnya

Index