Bhinneka Tunggal Ika: Menyatukan yang Tak Sama, Merawat yang Berbeda

Bhinneka Tunggal Ika: Menyatukan yang Tak Sama, Merawat yang Berbeda
Ilustrasi

Oleh: Eltamizul Koto, 2310103026

Di negeri yang diciptakan dari pulau-pulau, bahasa, adat, dan kepercayaan yang tak terhitung banyaknya, keberagaman bukan hal yang bisa dihindari—ia adalah kodrat. Indonesia lahir bukan dari keseragaman, tetapi dari keberanian untuk menyatukan yang tak sama. Di sinilah "Bhinneka Tunggal Ika" lahir, bukan sekadar semboyan, tapi sebagai jiwa kolektif bangsa ini.

Bukan tanpa alasan para pendiri bangsa menggali semboyan ini dari naskah kuno *Sutasoma* karangan Mpu Tantular. Di masa itu, bahkan dua agama besar—Hindu dan Buddha—bisa hidup berdampingan dalam semangat harmoni. Nilai itulah yang dipelajari kembali, dan diwariskan menjadi kompas moral bangsa hingga kini. Namun pertanyaannya, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, apakah kita masih sungguh-sungguh hidup dalam napas "berbeda-beda tetapi tetap satu"?

Antara Semboyan dan Kenyataan

Hari ini, kita menghadapi ironi yang tak kecil: keberagaman justru sering dijadikan alat pembeda, bukan perekat. Dalam realitas sosial kita, perbedaan suku, agama, hingga pilihan politik, seringkali menjadi alasan untuk menjauh, curiga, bahkan membenci. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Hikmah et al. (2024), semboyan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi perisai terhadap fragmentasi sosial, bukan hanya sekadar pajangan di dinding instansi pemerintah.

Munir Salim (2022) menekankan bahwa prinsip kebinekaan yang hidup di masyarakat adat Nusantara jauh lebih dalam dibandingkan sekadar toleransi formal. Di banyak komunitas lokal, adat mengajarkan bahwa hidup berdampingan itu bukan pilihan, tapi keharusan. Maka sungguh ironis bila kini, di zaman yang mengklaim diri sebagai modern dan demokratis, kita justru kerap kalah dalam urusan menerima perbedaan.

Bhinneka Tunggal Ika dalam Dunia Pendidikan dan Kebijakan

Menghidupkan Bhinneka Tunggal Ika bukan tugas satu generasi atau satu institusi saja. Dalam kajian Apandie et al. (2022), integrasi nilai-nilai moderasi beragama dan kebinekaan dalam kurikulum pendidikan menjadi titik penting. Sekolah bukan hanya tempat mengajar membaca dan berhitung, tapi juga ruang pertama untuk membentuk cara pandang anak terhadap dunia dan sesamanya.

Tak kalah penting, seperti yang disoroti oleh Pertiwi dan Dewi (2023), adalah bagaimana negara merancang kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif. Kebinekaan bukan hanya slogan di kelas PPKn, tetapi harus tercermin dalam pelayanan publik, dalam undang-undang, dalam cara negara memperlakukan warganya—siapa pun mereka.

Persatuan yang Diperjuangkan, Bukan Diterima Begitu Saja

Persatuan di negeri seperti Indonesia tidak terjadi secara otomatis. Ia adalah kerja keras, yang harus dilakukan terus-menerus, setiap hari. Sebab sebagaimana dijelaskan oleh Mansyur et al. (2023), persatuan Indonesia dari masa ke masa tidak pernah lepas dari tantangan. Dulu tantangannya kolonialisme. Kini, tantangannya adalah disintegrasi digital, intoleransi, serta kepentingan politik jangka pendek yang sering menunggangi identitas budaya dan agama. Namun justru karena itu, Bhinneka Tunggal Ika menjadi semakin relevan. Di tengah dunia yang semakin mudah terbagi karena algoritma, karena klikbait, karena misinformasi—semangat kebersamaan menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya.

Menjaga Warisan, Merawat Masa depan.

Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar warisan. Ia adalah visi. Ia bukan hanya apa yang telah kita  capai, tapi apa yang masih harus kita perjuangkan.Setiap kali kita memilih untuk mendengarkan sebelum menghakimi, untuk merangkul sebelum menyalahkan, dan untuk bekerja sama meski berbeda jalan—kita sedang menghidupkan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak di panggung besar, tapi dalam kehidupan sehari-hari. 

Dan di situlah makna sejatinya tumbuh.Karena pada akhirnya, menjadi Indonesia bukanlah soal di mana kita lahir atau apa agama kita. Menjadi Indonesia adalah kesediaan untuk berjalan bersama—dalam perbedaan, dalam keterbukaan, dalam semangat satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.

Daftar Rujukan:

  1. Apandie, C., et al. (2022). *Interrelated values between Bhinneka Tunggal Ika and religious moderation to strengthen pluralism in Indonesia.* Jurnal Civics, 19(1), 154-164. DOI: [10.21831/jc.v19i1.45174](https://journal.uny.ac.id/civics/article/view/45174)
  2. Hikmah, N., et al. (2024). *Merangkai persatuan dan kesatuan Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.* Kultura, 2(9), 240-246. DOI: [10.572349/kultura.v2i9.2581](https://jurnal.kolibi.org/index.php/kultura/article/view/2581)
  3. Pertiwi, A.D., & Dewi, D.A. (2023). *Implementasi nilai Pancasila sebagai landasan Bhinneka Tunggal Ika.* Jurnal Kewarganegaraan, 5(1). DOI: [10.31316/jk.v5i1.1450](https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/1450)
  4. Munir Salim. (2022). *Bhinneka Tunggal Ika sebagai perwujudan ikatan adat masyarakat adat Nusantara.* Al-Daulah, 6(1). DOI: [10.24252/ad.v6i1.4866](https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/4866)
  5. Mansyur, H.A.M., et al. (2023). *Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa Indonesia dari dahulu sampai sekarang.* Jurnal Pendidikan Transformatif, 2(2), 183-194. DOI: [10.9000/jpt.v2i2.331](https://jupetra.org/index.php/jpt/article/view/331)

 

#Properti

Index

Berita Lainnya

Index