Dipertanyakan, Penghitungan Kerugian Negara dalam Kasus Bioremediasi

JAKARTA (RiauInfo) - Kuasa hukum empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang ditahan dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi menyatakan bahwa penghitungan kerugian negara yang digunakan Kejaksaan Agung dalam kasus tersebut dilakukan oleh badan yang tidak memiliki kewenangan. Hal ini dinyatakan dalam permohonan praperadilan tersangka Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh, dan Bachtiar Abdul Fatah yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kejaksaan Agung menggunakan penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam permohonan praperadilan, Todung Mulya Lubis selaku kuasa hukum keempat karyawan CPI tersebut menyatakan bahwa BPKP tidak mempunyai tugas dan kewenangan melakukan penghitungan dan menetapkan kerugian negara. Keputusan Presiden No.31 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa BPKP memiliki kewenangan menghitung kerugian negara telah dicabut dengan Keputusan Presiden No.62 Tahun 2001. “Sehingga kewenangan menghitung kerugian negara sudah tidak berlaku lagi,” kata Todung. Menurut Todung, yang memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan, “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum.” Tidak sahnya penghitungan BPKP ini juga disebutkan oleh saksi ahli, ahli keuangan negara Arifin P. Surya Atmadja, dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Selasa, 20 November 2012. “Audit harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang, yaitu BPK,” ujarnya. Karena hasil audit BPKP tidak sah, Arifin mengatakan bahwa hasil tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti. Todung lebih lanjut menyatakan bahwa penetapan para karyawan CPI sebagai tersangka tidak sah dan melawan hukum karena dilakukan sebelum menghitung kerugian negara oleh BPK. Sesuai dengan Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidik harus terlebih dulu mencari dan mengumpulkan bukti sebelum menentukan tersangka. Namun, dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka sebelum bukti terkumpul. Gugat Rp 4,2 Miliar Seperti diberitakan sebelumnya, empat karyawan PT. CPI yang ditahan dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi menggugat Kejaksaan Agung sebesar Rp 4,2 miliar untuk kerugian materiil dan immateriil. Gugatan tersebut diajukan oleh kuasa hukum mereka melalui sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlangsung sejak Senin, 19 November 2012. Dalam permohonan praperadilan, Todung menyatakan bahwa penetapan sebagai tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak sah. Penetapan sebagai tersangka dan penahanan tersebut telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP di mana unsur utama dari ketentuan tersebut adalah adanya kerugian negara. Kuasa hukum mencatat bahwa penetapan keempat karyawan CPI sebagai tersangka dilakukan sebelum penghitungan kerugian negara yang dilakukan lembaga berwenang. Selain itu, Kejaksaan Agung juga belum menentukan siapa yang diuntungkan akibat kerugian negara dalam perkara ini. Todung menyatakan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya elemen ini maka tidak ada korupsi. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 bahwa, “Unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung," ujarnya.(rls/ad)

Berita Lainnya

Index