Konflik di Riau Dipicu Sumber Daya Alam

PEKANBARU (RiauInfo) - Direktur eksekutif Scale Up Ahmad Zazali menyebutkan, konflik sosial di Riau pada umumnya dipicu faktor sengketa sumber daya alam. Sepanjang 2008-2011, data yang dihimpun Scale Up menunjukkan konflik sosial tertinggi terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan.
Tahun 2008 tercatat ada 96 konflik, 2009 sebanyak 67 konflik, 2010 sebanyak 44 konflik dan 2011 sebanyak 34 konflik. Demikian diungkapkan Ahmad Zazali saat menjadi narasumber dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis dengan topik “Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai” di Breaks Café, Mal Ciputra Pekanbaru, Rabu (27/6 kemarin. Diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru bekerjasama dengan Scale Up juga menghadirkan mantan Ketua AJI Pekanbaru sekaligus Dosen FISIP Unri, Ahmad Jamaan SIP MSi, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Rahdiansyah SH MH. Sekitar 15 jurnalis yang terdiri dari anggota AJI Pekanbaru, perwakilan media di Riau, dan Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) terlibat dalam diskusi terbatas tersebut. “Konflik itu terjadi karena tumpang tindihnya perizinan lahan di lapangan,” imbuh Ahmad Zazali yang juga merupakan anggota Komisi Dewan Kehutanan Nasional (DKN) ini. Ahmad Jamaan kemarin lebih menyoroti soal pemberitaan jurnalis dalam liputan konflik. Menurutnya, sebelum jurnalis meliput suatu konflik, jurnalis harus benar-benar terlepas dari berbagai kepentingan. Bahkan, menurutnya perusahaan pers tempatnya bekerja juga tidak bisa melakukan intervensi. “Sehingga berita yang dihasilkan benar-benar objektif, berimbang, dan tak memunculkan konflik baru,” ungkap mantan anggota Panwaslu Riau ini. Selain itu, Ahmad Jamaan juga menekankan perlunya jurnalis menjaga keselamatan saat menghadapi liputan konflik. Jadi kata Ahmad Jamaan, soal kesalamatan ini harus betul-betul diperhatikan, dan tidak dianggap remeh oleh jurnalis. Sementara Rahdiansyah, mencoba melihat dari kacamata akademisi dalam melihat resolusi konflik. Menurutnya, UU No 30/1999 tentang Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif di luar pengadilan masih terlalu kaku. ADR masih terkait perselisihan bidang bisnis. Sedangkan untuk penyelesaian konflik sumber daya alam belum mengatur. “Tapi model penyelesaian yang ada di masyarakat, lewat jalur-jalur musyawarah untuk mufakat bisa dikembangkan, dan sifatnya lebih fleksibel,” paparnya.(zas/rls)
 

Berita Lainnya

Index