Penerbitan Pers Perlu Redaktur Bahasa

PEKANBARU (RiauInfo) - Penerbitan pers atau media massa baik cetak maupun elektronik mestinya memiliki redaktur bahasa. Hal itu untuk menjaga keutuhan Bahasa Indonesia. Karena tidak semua media cetak punya acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah. Ketidakseragaman istilah dapat merusak bahasa Indonesia. 

Hal itu terungkap dalam Lokakarya Bahasa Indonesia, Bahasa Media dalam rangka HUT Perusahaan Umum LKBN ANTARA ke-71 di Pekanbaru, kemaren. Tampil sebagai pembicara Mulyo Sunyoto, Redaktur Senior LKBN ANTARA dan Sutrianto, Pemimpin Umum Harian Riau Pos. "Yang saya tahu, hingga sekarang baru Harian Kompas yang menggunakan redaktur bahasa. Dulu, Majalah Tempo juga memiliki redaktur bahasa, tetapi sekarang entah mengapa redaktur bahasa tidak dipakai lagi," kata Sutrianto. Dia menambahkan, fakta yang dijumpai adalah, di dalam organisasi media massa tidak selalu ada fungsi atau peran penyelaras bahasa. Apalagi setelah eforia reformasi, kedudukan penyelaras bahasa tidak lagi menjadi semacam kewajiban. Akibatnya, bahasa media massa dewasa ini dapat dikategorikan memprihatinkan. Menurut data Biro Pusat Statistik (2005), penduduk usia 15-24 tahun sebanyak 40,224 juta, membuat pengelola media massa menjadikan remaja/pemuda sebagai target pembaca dan konsumen iklan. Untuk memikat mereka, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan dunia mereka, yang cenderung menjauh dari bahasa Indonesia baku. Misalnya istilah, ungkapan, kata yang digunakan pasti yang sedang populer. Jadi, ada kesengajaan untuk menggunakan bahasa yang tidak baku agar sesuai dengan target pembaca muda. Kekacauan dalam berbahasa yang ”disponsori” media massa tidak saja tentang penggunaan bahasa prokem, tetapi juga tentang penggunaan/pembentukan istilah, tanda baca, penggunaan akronim yang berlebihan, ketidakseragaman kosa kata, tanda penghubung, partikel, kata sandang, penekanan, konotasi/denotasi, pembentukan kalimat, kerancuan, hiperbola dan sebagainya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekacauan ini. Pertama, ketidakpedulian pengelola media massa terhadap perannya sebagai media pendidikan, termasuk di dalamnya perannya sebagai pembina/teladan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukti ketidakpedulian ini antara lain dengan tidak adanya lembaga penyelaras atau redaktur bahasa di banyak media massa kita. Hal ini terjadi selain faktor kesengajaan – mengganggap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak penting – juga akibat ketidaktahuan dan atau ketidakmampuan membayar/membiayai redaktur/penyelaras bahasa. "Sebagai informasi bagi kita semua, menurut data Dewan Pers tahun 2006, sekitar 70 persen dari 851 media yang terbit dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat. Media-media massa seperti ini dengan sendirinya akan sulit diharapkan untuk berperan sebagai lembaga yang bisa dijadikan teladan/panutan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar," tutur Sutrianto. Kedua, imbuhnya, kepentingan bisnis lebih kuat daripada kepentingan idealisme. Penggunaan bahasa prokem untuk kepentingan pembaca remaja dan kepentingan iklan adalah salah satu bukti. Ketiga, cepat dan banyaknya masuk istilah asing dan daerah ke dalam bahasa Indonesia tidak sebanding dengan kecepatan Pusat Pembinaan Bahasa dalam membakukan istilah yang masuk tersebut, sehingga pengelola media massa melakukan pembakuan secara sendiri-sendiri. Selain itu, kendati sudah ada buku pedoman pembentukan istilah, namun dalam prakteknya, para pengelola media massa – yang tidak memiliki redaktur/penyelaras bahasa –sulit melakukan penyeragaman pembentukan istilah ini. Sementara itu, redaktur senior LKBN ANTARA Mulyo Sunyoto menyebutkan, menulis bahasa Indonesia yang baik dan benar tidaklah sulit jika kita sudah membiasakan diri membaca dan memahami beberapa pedoman berbahasa Indonesia. Ada sedikitnya empat pedoman yang bisa menuntun kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar: "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan", "Pedoman Umum Pembentukan Istilah", "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) dan "Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia". Dengan merujuk pada keempat pedoman berbahasa Indonesia itu, kita tak akan membuat kesalahan dalam berbahasa Indonesia, khususnya dalam bahasa tulis. "Ada dua bidang utama dalam pemakaian bahasa yang bisa digunakan untuk menguji apakah bahasa yang kita tulis sudah benar atau salah. Yang pertama bidang semantik (makna kata), dan kedua sintaksis (tata kata)," terangnya.(ad)
 

Berita Lainnya

Index