Dahlan Iskan, Riau Pos, dan Jejak Pertarungan di Tanah Lancang Kuning

Dahlan Iskan, Riau Pos, dan Jejak Pertarungan di Tanah Lancang Kuning
Dahlan Iskan, (inset H. Affan Bey Hutasuhut)

Oleh : H Affan Bey Hutasuhut, Wartawan Majalah TEMPO 1987-1994

Sosok Dahlan Iskan, yang kini di masa senjanya mesti berhadapan dengan meja hijau, tak bisa dilepaskan dari sejarah gemilang kelahiran Harian Riau Pos di Pekanbaru. Sebuah perjalanan panjang yang melibatkan keyakinan, kegigihan, dan tentu saja, jaringan wartawan yang punya visi. Riau Pos, yang kini menjadi salah satu pilar media di Sumatera, adalah saksi bisu dari pasang surut perjuangan mendirikan media di tengah keterbatasan.

Kisah pendirian koran ini bermula dari benak seorang budayawan sekaligus jurnalis ulung, H. Rida K. Liamsi. Ia adalah nahkoda pertama yang mengemudikan Riau Pos, memastikan kapal berita ini berlayar pada 18 Januari 1991. Tanggal itu bukan sembarang tanggal. Dunia tengah bergolak.

Tepat di hari peluncuran, genderang Perang Teluk antara Irak dan koalisi pimpinan Amerika Serikat bertalu-talu. Tak ayal, Riau Pos pun mengusung judul utama yang menggema: "George Bush yakin takkan gagal, Saddam janjikan kemenangan." Sebuah permulaan yang dramatis, sekaligus menunjukkan kepekaan redaksi terhadap peristiwa global yang mendominasi perhatian publik.

Di bawah kepemimpinan Datu Seri Lela Budaya—gelar kehormatan yang disematkan kepada H. Rida K. Liamsi—koran ini perlahan tapi pasti merangkak keluar dari 'terowongan' gelap yang menyelimuti masa-masa awal penerbitannya. Empat tahun berselang, bibit-bibit yang ditanam mulai berbuah, bahkan beranak pinak.

Riau Pos tak lagi sendirian di Pekanbaru sebagai induk. Cabang-cabangnya mulai menjalar ke lima provinsi: Batam di Kepulauan Riau, Medan di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. Sebuah ekspansi yang menakjubkan, mengubah penerbitan yang mulanya merayap dari bawah menjadi raksasa media di Sumatera kala itu, menyinari setiap jendela di Bumi Lancang Kuning.

Namun, sebelum gemilang ini terwujud, ada sebuah jejak panjang yang ditarik dari pengalaman Rida K. Liamsi. Pria kelahiran Dabo, Singkep, Lingga, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943, ini bukanlah orang baru di dunia jurnalisme. Ia sempat aktif sebagai wartawan Majalah TEMPO di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, sebelum mengundurkan diri sekitar tahun 1983.

Selepas dari TEMPO, Rida menjejakkan kakinya di Mingguan Genta di Pekanbaru, mengasah naluri jurnalistiknya di ranah lokal. Tak lama, ia bergeser ke Harian Suara Karya, sebuah media dengan kantor pusat di Jakarta, memperluas cakrawala pemberitaannya hingga ke level nasional.

Di sinilah takdir mempertemukan Rida K. Liamsi dengan Dahlan Iskan. Perjumpaan itu terjadi di penghujung tahun 1980-an, ketika Dahlan Iskan telah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Jawa Pos, sebuah media yang kelak menjadi cikal bakal imperium bisnis media yang luas.

Pertemuan itu bukan kebetulan semata. Rida ditugaskan ke Jakarta untuk menggantikan sementara redaktur yang berhalangan. Dari Jakarta, tugas berikutnya membawanya ke Surabaya. Sebuah kebetulan yang membuka gerbang sejarah baru.

Mengingat Rida dan Dahlan adalah rekan seangkatan saat masih aktif di Majalah TEMPO, Rida pun menyempatkan diri menemui sejawatnya di Kota Pahlawan. Dalam obrolan santai namun penuh makna itu, Dahlan Iskan melontarkan sebuah usulan yang mengubah peta jalan Rida K. Liamsi.

"Masak masih di lapangan terus, saya saja sudah jadi Pemimpin Redaksi," kira-kira begitu ungkapan Dahlan, sebuah provokasi positif yang membakar semangat Rida. Petuah Dahlan itu terasa masuk akal bagi Rida. Ia berpikir, tak mungkin selamanya ia menjadi wartawan di Tanjung Pinang, kampung halamannya, sementara Dahlan sudah menjelma menjadi seorang "bos" media.

Ide itu mengendap, lantas memicu Rida untuk menjajaki peluang. Setelah berupaya keras, ia menemukan jodohnya pada manajemen Mingguan Warta Karya di Pekanbaru, yang diterbitkan oleh Yayasan Munandar. Yayasan ini belakangan berganti nama menjadi Yayasan Riau Makmur, yang secara ex officio dipimpin oleh Gubernur Riau kala itu, Suripto.

Proses perjuangan mendirikan koran ini tidaklah mudah. Rida mesti bolak-balik antara Tanjung Pinang dan Pekanbaru, menguras tenaga dan waktu. Ia harus siap dengan segala kemungkinan pahit dan getir, bahkan rela menginap di losmen sederhana di Pekanbaru. Pernah suatu ketika, ia ditemui di sebuah losmen yang pintunya masih dikunci dengan gembok, menggambarkan betapa serba terbatasnya situasi saat itu.

Dalam perjalanan ini, Rida didampingi oleh beberapa individu penting. Mafiron, koresponden Pelita di Riau, serta Armawi KH, seorang seniman yang bertanggung jawab atas perwajahan koran, yang semula berkantor di Jalan Kuantan dan berasal dari Mingguan Warta Karya, turut bergabung dalam barisan Riau Pos.

Nama koran baru, tentu tak serta-merta membuat masyarakat pembaca jatuh cinta. Ada anekdot yang beredar saat itu, "Jangankan dijual murah, gratis pun orang tak mau." Ini menggambarkan betapa beratnya upaya untuk menembus pasar dan merebut hati pembaca. Meski Rida sudah bekerja keras secara maksimal, bahkan sampai berutang ke sana-sini, biaya operasional belum juga tertutupi.

Secercah harapan kemudian muncul ketika Riau Pos melebarkan sayapnya ke Batam. Di sana, seorang wartawan bernama Marganas Nainggolan menunjukkan kecekatan luar biasa. Ia piawai dalam melakukan pendekatan kepada pihak Otorita Batam dan para pengusaha, berhasil menarik iklan dan menjaring pelanggan setia untuk Riau Pos.

Berkat upaya Marganas, sejumlah biaya operasional sebagian mulai tertutup. Namun, kendala tetap ada. Biaya cetak, sebagian gaji karyawan, dan pos-pos pengeluaran lainnya masih belum bisa ditutupi sepenuhnya. Gubernur Riau Suripto, selaku Ketua Yayasan Riau Makmur, bahkan sudah "letih" bolak-balik meminjamkan uang untuk menutupi kebutuhan operasional media ini.

Oplah koran yang diharapkan bisa melambung tinggi agar pemasukan dari penjualan koran dan iklan tidak melulu mengandalkan pihak yayasan dan kontribusi dari Batam, belum juga terwujud. Perjalanan Riau Pos kala itu masih penuh liku, seolah berada di persimpangan jalan yang gelap.

Dari sinilah kemudian Jawa Pos Group masuk untuk menawarkan kerja sama. Sebuah keputusan strategis yang mengubah segalanya. Pada 1 Juni 1990, sebuah Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di hadapan notaris, mengukuhkan kemitraan ini. Sejak kesepakatan itu, Riau Pos mulai menunjukkan taringnya sebagai koran unggulan di Bumi Lancang Kuning. Kekuatan utama manajemen Riau Pos menjadi semakin tangguh.

Pak Rais dan Ahmad Rodhi, ahli pemasaran dari Jawa Pos Group di Surabaya, bahkan di-BKO-kan untuk membantu mendongkrak oplah Riau Pos. Hasilnya sungguh meroket, dan seiring dengan itu, iklan pun mengalir deras. Alhamdulillah, sejak saat itu, Riau Pos berkembang pesat, dan masih bertahan kokoh hingga kini, meski era media digital telah menguncang keras lanskap industri pers.

Berita Lainnya

Index