Oleh: Naurahusna Aqila, Mahasiswa Universitas Tazkia, Bogor
Mengenal Perbankan Syariah: Prinsip dan Perkembangannya
Perbankan syariah adalah sistem perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam, terutama larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (berjudi). Sebagai gantinya, bank syariah menerapkan skema berbasis bagi hasil dan transaksi yang sesuai dengan hukum Islam.
Lebih dari sekadar menghindari praktik perbankan yang dilarang, perbankan syariah juga bertujuan untuk mencapai Maqashid Syariah, yaitu tujuan-tujuan utama dalam syariat Islam yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Ada lima aspek utama dalam Maqashid Syariah yang menjadi dasar pengembangan perbankan syariah:
Hifzh al-Din (Menjaga Agama) – Mencegah transaksi yang bertentangan dengan nilai Islam, seperti riba dan spekulasi berlebihan.
Hifzh al-Nafs (Menjaga Jiwa) – Menciptakan sistem keuangan yang adil dan tidak menindas, sehingga masyarakat dapat hidup lebih sejahtera.
Hifzh al-'Aql (Menjaga Akal) – Mendorong edukasi dan literasi keuangan syariah agar masyarakat memahami pilihan finansial mereka dengan baik.
Hifzh al-Nasl (Menjaga Keturunan) – Menjamin stabilitas ekonomi jangka panjang melalui sistem keuangan yang sehat dan berkeadilan.
Hifzh al-Mal (Menjaga Harta) – Membangun sistem ekonomi yang transparan, aman, dan berkelanjutan, sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu.
Dengan menerapkan Maqashid Syariah, perbankan syariah tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Meskipun konsep ini sudah lama diperkenalkan, tantangan dalam penerapannya masih besar, terutama dalam hal literasi keuangan syariah, inovasi produk, dan daya saing dengan perbankan konvensional.
Di Indonesia, perbankan syariah mulai berkembang sejak 1990-an dan terus mengalami pertumbuhan. Industri ini didukung oleh berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) yang bertujuan memperkuat sistem keuangan syariah.
Namun, meskipun Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, pangsa pasar perbankan syariah masih jauh tertinggal dibandingkan perbankan konvensional. Kendati telah memiliki payung hukum yang kuat, industri ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti rendahnya literasi keuangan syariah, keterbatasan produk yang kompetitif, serta dominasi bank konvensional yang lebih mapan dengan jaringan yang lebih luas. Tanpa strategi yang lebih agresif dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah serta sektor industri, perbankan syariah berisiko terus tertinggal dalam persaingan di tanah air.
Dukungan Pemerintah: Serius atau Sekadar Formalitas?
Pemerintah sering menyuarakan dukungan terhadap perbankan syariah, termasuk melalui program Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024. MEKSI 2019-2024 adalah strategi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia, termasuk sektor perbankan syariah. MEKSI bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia dengan empat strategi utama:
Penguatan rantai nilai halal, yang mencakup sektor unggulan seperti makanan, fesyen, farmasi, dan keuangan syariah.
Penguatan sektor keuangan syariah, termasuk perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank berbasis syariah.
Penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis syariah sebagai pendorong utama ekonomi syariah nasional.
Penguatan ekonomi digital dan infrastruktur ekonomi syariah, yang mencakup peningkatan teknologi dan inovasi keuangan berbasis syariah.
Namun, meskipun strategi ini terdengar ambisius, implementasinya masih menghadapi tantangan besar. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya sinergi antara kebijakan pemerintah dan eksekusi di lapangan. Dominasi bank konvensional tetap kuat karena masih lebih diuntungkan dalam hal permodalan, regulasi, dan insentif.
Selain itu, literasi keuangan syariah di masyarakat masih rendah, menyebabkan minimnya permintaan terhadap produk-produk keuangan syariah. Insentif yang diberikan kepada perbankan syariah juga belum sekompetitif bank konvensional, baik dari segi pajak, regulasi, maupun kemudahan ekspansi. Tanpa kebijakan yang lebih konkret dan dukungan yang lebih nyata dari pemerintah, perbankan syariah di Indonesia berisiko tetap stagnan dan tertinggal dari sektor keuangan konvensional.
Di luar faktor eksternal, perbankan syariah juga menghadapi tantangan dari dalam. Banyak produk keuangan syariah yang belum mampu menyaingi fleksibilitas dan keuntungan dari bank konvensional. Digitalisasi juga masih lambat, sehingga layanan perbankan syariah kerap dianggap kurang efisien dibandingkan pesaingnya.
Masa Depan: Bertumbuh atau Tertinggal?
Jika ingin berkembang, perbankan syariah membutuhkan strategi yang lebih kompetitif dan realistis. Pemerintah harus lebih serius dalam meningkatkan literasi keuangan syariah dan memberikan insentif yang lebih konkret. Di sisi lain, perbankan syariah sendiri harus lebih inovatif dalam menghadirkan layanan yang berbasis teknologi.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, sudah seharusnya Indonesia menjadi pemimpin dalam industri perbankan syariah global. Namun, tanpa langkah konkret, perbankan syariah di Indonesia akan terus tertinggal. Kini, pertanyaannya: apakah kita siap mendorong pertumbuhan ini, atau hanya membiarkannya jalan di tempat?