Puasa sebagai Perisai Keimanan

BERIRINGAN dengan datangnya bulan suci Ramadan (2008 M/1429 H), serta momen-momen penting di dalamnya—Nuzulul Qur’an, Lailatul Qadar, dan sebagainya, umat Islam akan menjalani ibadah puasa di bulan yang oleh Allah SWT telah dihimpun kemuliaan dan hidayat. Melalui puasa Ramadan, Allah SWT menguji kita untuk menahan haus dan lapar, serta menahan hawa nafsu. Bulan Ramadan merupakan pokok pembinaan iman islami, untuk menyempurnakan amal ibadah, mendapatkan ampunan (magfirah), dan kebebasan dari ancaman neraka. 

Berpuasa pun, sering diharapkan orang menjadi tonggak penyucian diri dan moral menuju kehidupan yang lebih baik, bersih, dan peduli dengan sesama. Meskipun untuk yang terakhir ini masih sering jauh dari harapan. Sebab, puasa masih banyak dianggap sebagai tradisi yang tidak memberi bekas dan pahatan yang berarti dalam kehidupan hari-hari selanjutnya. Dalam Alquran, perintah puasa tertulis jelas dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)”. Jadi, jelas sekali bahwa ibadah puasa tak lain sebagai perisai keimanan manusia yang melakukannya. Adapun tujuan dari puasa, sebagaimana tertera pada ayat di atas adalah jelas, agar kita bertakwa. Jadi, inti dari tujuan puasa bukan sekadar menahan haus, lapar, nafsu, serta perbuatan yang membatalkan puasa saja, namun lebih tinggi dari itu, menjadi insan yang bertakwa. Memang, hakikat puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu, puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dalam berpuasa. Merujuk pada hakikat dan tujuan puasa ini, kaum sufi menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa berupa pembatasan seluruh anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran, dari tindakan yang mengakibatkan segala macam dosa. Takwa yang sebenarnya menjadi inti dari ibadah puasa ini sayangnya masih belum banyak menjadi kesadaran umat Islam yang berpuasa. Banyak yang berpuasa bukan didasari oleh niat tulus, ikhlas, dan sadar dari lubuk sanubarinya sendiri. Namun, ada yang karena terpaksa dan tidak enak dengan atasannya, sungkan dengan tetangganya, bahkan ada yang karena malu sama anak buahnya. Makanya, puasa yang dilakukan tidak secara maksimal, sebab niatnya bukan berangkat dari kesadaran diri dan tujuan beribadah kepada Allah, tapi karena manusia. Berkaitan dengan itu, jauh-jauh hari Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan: “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasa, kecuali rasa lapar dan haus”. Hal ini menunjukkan, bahwa sebetulnya soal lapar dan haus ini bukanlah tujuan utama puasa. Menurut Quraish Shihab (1999), takwa berasal dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “hindarilah, jauhilah, dan jagalah dirimu dari Allah”. Karena manusia dan semua makhluk adalah ciptaan Allah, maka dia tidak mungkin menghindarkan diri dari Allah. Maka, yang dimaksud menghindarkan diri di sini adalah menghindar dari siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Menghindarinya, bisa dilakukan dengan menjalankan apa yang diperintah-Nya dan menghindarkan diri dari apa yang dilarangnya. Dengan begitu, orang yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat sebagaimana bunyi sebuah hadits, “bagaikan melihat-Nya, atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak menyadari bahwa Allah melihatnya”. Sejak awal, Islam telah mengajarkan bahwa dalam beragama kita tidak harus melulu mengejar aspek akhirat dan moralitas, namun harus pula peduli terhadap persoalan dunia dan sosial kemanusiaan. Dan hal itu, telah dicontohkan sendiri dalam keseharian Nabi Muhammad SAW. Meminjam ungkapan para sufi, beliau adalah seorang rahib di malam hari dan seorang singa di siang hari. Maksudnya, ketika malam saatnya beribadah, beliau akan tekun dan sangat menghayati ibadahnya, sambil terus mengakui kesalahannya meskipun beliau adalah orang yang maksum (terjamin kesuciannya oleh Allah). Namun, ketika hari masuk pagi dan berganti wajah, belia menjadi seorang yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, berdakwah sampai pelosok-pelosok rumah penduduk,mendengar keluh kesah umatnya,menolong, dan memberikan uluran tangan pada mereka yang menderita, hingga berperang secara mati-matian membela agama dan Tuhan-Nya. Teladan itu, seyogyanya juga menjadi acuan dalam kehidupan para pengikut dan umatnya. Makanya, pengertian takwa yang masih banyak bersifat moralitas dan kualitas peribadatan itu hendaknya kita transformasi menjadi hal yang konkret dan memihak pada peningkatan kualitas sosial kemanusiaan. Artinya, orang yang berpuasa dengan tujuan takwa itu, tidak hanya berhenti dengan menjadi seorang ahli ibadah yang mengejar kepentingan pahala dan nasibnya di dunia sekarang dan nanti tanpa peduli dengan transformasi amal ibadahnya untuk kepentingan umat dan bangsanya. Hendaknya, puasa memberikan efek pada sikap menolong yang papa, merasakan penderitaan orang yang tidak bisa atau kekurangan makan, menghindari cara hidup bermewah-mewahan, menjaga dan membatasi diri dalam mengejar nafsu kekuasaan, melatih kesederhanaan dalam hidup, dan sifat sosial kemanusiaan lainnya. Dengan begitu, puasa akan betul-betul menjadi kawah candradimuka untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita selanjutnya. Ibaratnya, setelah dilatih dan digembleng selama sebulan penuh, kita menjadi terlatih dan siap terjun ke lapangan dengan spirit, kekuatan, dan komitmen yang baru. Ketakwaan secara moral dan sosial itu tentu sangat relevan bagi bangsa Indonesia yang sebagian rakyatnya terus menderita akibat kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil seperti terlihat pada terus naiknya harga kebutuhan pokok, tarif tol yang melonjak, penggusuran rumah di kolong tol, korupsi yang terus terjadi dan penanganannya masih tebang pilih, serta anggaran pendidikan yang masih tetap kecil itu. Dengan ketakwaan yang tertransformasi dalam pemihakan sosial kemanusiaan, maka yang dikejar oleh orang yang beragama dan menjalankan ibadah puasa bukanlah semata-mata pahala, harta, dan kekuasaan saja, namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana agar rakyat bisa sejahtera, kita bisa membantu sesamanya, serta rakyat tidak terus menderita. Pelaksanaan agama akan menjadi sia-sia, jika para pemeluknya tidak mampu membuatnya menjadi bermakna dan berbekas serta berguna pada kehidupan sehari-hari umat manusia. Wallahu a’lam bisshawab. CURRICULUM VITAE: Nama Lengkap: Tasyriq Hifzhillah Tempat/Tgl Lahir: Probolinggo, 09 Oktober 1981 Pekerjaan: Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Alamat Yogya: Ambarukmo Blok IV No: 33-B CT. Depok Yogyakarta 55281 HP: 0815-7881-3345 No. Rek: BCA KCP Urip Sumoharjo Yogyakarta: 456-4777-996, a.n. Tasyriq Hifzhillah
 

Berita Lainnya

Index