Mahfud MD: KPK Jangan Cuma Berani Tangkap Kelinci, Singa Juga Harus Dikejar

Rabu, 24 Desember 2025 | 10:58:29 WIB
Mahfud MD dalam Podcast di kanal pribadinya kanal Terus Terang 23/12/2025

JAKARTA (RiauInfo) – Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, kembali bersuara lantang mengenai dinamika penegakan hukum dan kondisi demokrasi di Indonesia jelang akhir tahun. Dalam tayangan podcast di kanal YouTube pribadinya yang diunggah pada Selasa (23/12/2025), Mahfud menyoroti tiga isu krusial: polemik jabatan sipil Polri, kebebasan berekspresi, hingga agresivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan rajin melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di daerah.

Mantan Menko Polhukam ini secara khusus mengapresiasi langkah KPK yang dalam waktu 24 jam berhasil melakukan penindakan di tiga lokasi berbeda, yakni Kalimantan Selatan, Banten, dan Bekasi. Meski muncul spekulasi publik bahwa rentetan penangkapan ini hanyalah pengalihan isu politik, Mahfud menegaskan dukungannya terhadap pemberantasan korupsi tanpa memandang motif di belakangnya.

"Saya sangat mendukung penangkapan-penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan korupsi. Saya tidak peduli alasan politisnya. Mau untuk mengalihkan perhatian atau apa, kalau memang ada buktinya, tangkap saja," tegas Mahfud dalam tayangan Terus Terang tersebut.

Namun, dukungan tersebut disertai catatan kritis. Mahfud menyentil KPK agar tidak hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ia mengibaratkan koruptor di daerah sebagai "kelinci", sementara kasus-kasus besar di pusat yang melibatkan tokoh-tokoh kuat diibaratkan sebagai "singa" yang masih sulit disentuh lembaga antirasuah tersebut.

"Kalau tidak berani menangkap singa, ya tangkap kelinci atau kucingnya saja daripada diam sama sekali. Korupsi di Indonesia itu seperti kebun binatang, masuk ke mana saja pasti ada binatangnya. Tinggal mau ambil yang mana," ujar Mahfud menganalogikan kondisi korupsi saat ini.

Ia menyoroti macetnya penanganan kasus-kasus besar di tingkat pusat, seperti dugaan korupsi kuota haji yang hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Menurutnya, jika kasus di pusat macet karena faktor politis, langkah KPK menyisir korupsi di daerah adalah tindakan yang tetap patut diapresiasi agar "napas" pemberantasan korupsi tetap hidup.

Polemik Perpol Jabatan Sipil Polri

Selain isu KPK, Mahfud juga menguliti Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur 17 jabatan di instansi sipil yang boleh diisi oleh anggota Polri aktif. Ia menilai aturan tersebut cacat hukum dan menabrak aturan di atasnya (lex superior derogat legi inferior), mengingat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan UU Polri mewajibkan polisi mundur atau pensiun jika ingin menjabat di ranah sipil.

Rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengakomodasi aturan tersebut juga dinilai Mahfud sebagai langkah yang dipaksakan. Menurutnya, UU Aparatur Sipil Negara (ASN) terbaru mensyaratkan pengaturan jabatan sipil bagi Polri harus melalui Undang-Undang, bukan sekadar PP.

"Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri itu justru melarang. Jadi kalau mau diatur lewat PP, cantolannya tidak ada. Pintu masuknya tertutup kecuali UU Polri direvisi terlebih dahulu lewat DPR," jelasnya secara rinci.

Mahfud mengingatkan bahwa memaksakan aturan ini tanpa revisi undang-undang hanya akan menimbulkan kekacauan tata kelola kepegawaian negara. Ia menyarankan agar pemerintah dan DPR mengambil jalan legislasi yang benar jika memang ingin memperluas ranah jabatan Polri, bukan dengan aturan turunan yang menabrak konstitusi.

Soroti Kebebasan Berekspresi

Dalam kesempatan yang sama, Mahfud turut menyesalkan pembubaran diskusi buku "Riset Indonesia" yang terjadi di Madiun serta penangkapan sejumlah aktivis belakangan ini. Baginya, pelarangan kegiatan intelektual mencederai Pasal 28C dan Pasal 32 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi dan pengembangan diri melalui ilmu pengetahuan.

"Ukuran pelarangan itu harus jelas. Kenapa buku itu dilarang di Madiun padahal di tempat lain boleh? Inkonsistensi ini menunjukkan ketidakjelasan komando dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia," kritik Mahfud.

Terkait penangkapan 1.037 demonstran pada aksi Agustus lalu, Mahfud menyarankan aparat kepolisian melakukan penyisiran ulang. Ia meragukan jika ribuan orang tersebut seluruhnya adalah provokator. Mahfud merekomendasikan agar mereka yang tidak memiliki bukti kuat segera dibebaskan atau penahanannya ditangguhkan.

Penangkapan yang baru dilakukan berbulan-bulan setelah peristiwa terjadi, seperti kasus di Magelang, juga dinilai Mahfud sebagai tindakan yang aneh dan berpotensi menebar ketakutan di masyarakat. Hal ini, menurutnya, dapat berdampak buruk pada kualitas demokrasi Indonesia.

Solusi Konflik Internal NU

Menutup pembicaraan, Mahfud menyinggung konflik internal di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) antara kubu Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah. Ia menilai situasi saat ini sudah deadlock karena kedua pemimpin saling tidak mengakui legitimasi satu sama lain, yang berakibat pada macetnya roda organisasi.

"Penyelesaiannya harus Muktamar. Tidak bisa tidak. Karena organisasi ini pilar penting bangsa, jangan sampai terus terpecah," ungkap tokoh yang juga lekat dengan kultur Nahdliyin ini.

Sebagai solusi jalan tengah, Mahfud menyarankan peran Mustasyar (penasihat) atau para kiai sepuh yang netral untuk mengambil alih inisiatif penyelenggaraan Muktamar yang disepakati kedua belah pihak. Hal ini diperlukan demi menyelamatkan keutuhan organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

"Kita butuh kebesaran hati dari kedua kubu untuk menurunkan ego dan menyerahkan penyelesaian kepada para kiai sepuh. NU terlalu besar untuk dikorbankan demi kepentingan perorangan," pungkas Mahfud.

 

Terkini