Menggugat Uang Fiat: Akar Krisis Ekonomi Modern dari Warisan Nixon

Kamis, 02 Oktober 2025 | 09:36:22 WIB
Ilustrasi

Oleh: Farkhan Maulana Mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis Syariah, Institut Agama Islam Tazkia

Harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, nilai tabungan terasa menyusut, dan berita tentang ancaman resesi global seolah tak ada habisnya. Banyak dari kita merasakan tekanan ekonomi ini secara langsung, namun seringkali bingung menunjuk apa akar masalahnya. Jawabannya mungkin tersembunyi lebih dari setengah abad lalu, pada sebuah keputusan yang mengubah wajah ekonomi dunia selamanya.

Tepat pada 15 Agustus 1971, Presiden AS Richard Nixon secara sepihak mengakhiri standar emas, sebuah sistem yang menambatkan nilai dolar AS pada cadangan emas fisik. Sejak saat itu, dunia terdorong masuk ke era uang fiat uang yang nilainya tidak dijamin oleh aset riil apa pun, melainkan hanya oleh kepercayaan dan dekrit pemerintah. Keputusan ini memang memberi Washington fleksibilitas tak terbatas, namun bagi seluruh dunia, ia mewariskan tiga masalah kronis yang guncangannya kita rasakan hingga hari ini.

Inflasi Permanen dan Ekspor Krisis

Masalah pertama dan paling terasa adalah inflasi yang menjadi penyakit permanen. Dengan sistem uang fiat, pemerintah AS bisa mencetak dolar nyaris tanpa batas untuk membiayai defisit anggarannya. Kita melihat contoh ekstremnya saat pandemi COVID-19, di mana triliunan dolar dicetak sebagai stimulus. Hasilnya bisa ditebak: lonjakan inflasi global tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Celakanya, karena dolar adalah mata uang cadangan dunia, Amerika bisa "mengekspor" inflasinya ke negara lain. Saat The Fed mencetak uang, nilai dolar yang dipegang oleh bank sentral di seluruh dunia (termasuk Bank Indonesia) ikut tergerus. Akibatnya, negara lain dipaksa ikut menanggung beban dari kebijakan moneter domestik Amerika. Analogi kasarnya: Amerika bersin, seluruh dunia ikut demam.

Ketidakadilan Struktural Global

Warisan kedua adalah ketidakadilan yang terlembagakan. Indonesia, misalnya, harus mendapatkan dollar melalui ekspor komoditas atau menarik investasi. Kita harus bekerja keras untuk setiap dolar yang masuk. Sebaliknya, Amerika Serikat cukup menyalakan mesin cetaknya. Ketimpangan fundamental inilah yang menciptakan asimetri kekuatan luar biasa dalam ekonomi global, di mana satu negara bisa membiayai perangnya atau membayar hutangnya dengan uang yang ia ciptakan sendiri dari udara hampa.

Kacamata Keadilan Ekonomi Syariah

Dari perspektif ekonomi syariah, sistem ini problematis bukan hanya karena dampaknya, tetapi juga karena prinsip dasarnya. Pertama, ia sarat dengan gharar (ketidakpastian ekstrem) karena nilainya yang terus berfluktuasi dan tergerus inflasi. Kedua, sistem ini mendorong praktik riba (bunga) menjadi jantung perbankan modern.

Yang tak kalah penting, ia bertentangan dengan prinsip hifzh al-mal (menjaga nilai harta). Sistem yang secara inheren menggerus daya beli tabungan masyarakat jelas gagal melindungi kesejahteraan jangka panjang warganya. Islam mendorong penggunaan mata uang yang stabil dan berbasis aset riil, seperti emas dan perak, justru untuk mencegah ketidakadilan semacam ini.

Saatnya Mencari Alternatif

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Menggugat sistem yang sudah berusia 50 tahun lebih ini tentu bukan perkara mudah. Namun, kesadaran publik adalah langkah pertama. Diskusi global tentang de-dolarisasi yang mulai menguat, meningkatnya minat masyarakat terhadap aset riil seperti emas, hingga munculnya aset digital terdesentralisasi adalah sinyal bahwa dunia mulai mencari alternatif dari sistem yang terbukti rapuh.

Ekonomi syariah, dengan penekanannya pada keterkaitan dengan sektor riil, larangan spekulasi berlebihan, dan keadilan distribusi, menawarkan kerangka berpikir yang sangat relevan. Sudah saatnya kita tidak hanya pasrah mengobati gejala krisis seperti inflasi dan resesi, tetapi juga berani mempertanyakan akarnya. Warisan Nixon telah menunjukkan betapa berbahayanya sistem moneter yang tidak ditambatkan pada keadilan dan aset nyata. Kini, tugas kita adalah merancang masa depan yang lebih stabil dan manusiawi.

 

Tags

Terkini