Oleh: Qonna'atu Mulhimma, 2310101171, mahasiswa Universitas Tazkia.
Pengantar
Industri financial technology (fintech) di Indonesia berkembang sangat cepat, mendorong perubahan cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Tidak hanya sektor konvensional, fintech juga merambah ke ranah syariah dengan mengusung prinsip bebas riba, gharar, dan maisir. Kehadiran fintech syariah sejalan dengan kebutuhan masyarakat muslim yang mencari layanan keuangan modern tapi tetap sesuai syariat.
Menurut OJK, hingga 2023 tercatat lebih dari 20 platform fintech syariah yang terdaftar, terutama di sektor peer-to-peer lending (P2P) dan pembiayaan produktif. Kehadiran mereka diharapkan memperluas inklusi keuangan, terutama bagi UMKM.
Ekosistem Fintech Syariah: 8 Pemain Kunci
Fintech syariah tidak berdiri sendiri. Ekosistemnya melibatkan berbagai, yaitu:
- DSN-MUI – mengeluarkan fatwa sebagai dasar hukum syariah.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) – regulator yang memberikan izin dan pengawasan.
- Bank & Lembaga Keuangan Syariah – mitra strategis fintech dalam pembiayaan.
- Platform Fintech Syariah – penyedia layanan, seperti Danasyariah, Investree Syariah, Ammana.
- Dewan Pengawas Syariah (DPS) – mengawal kepatuhan syariah di tiap platform.
- Investor – menyuntikkan dana berdasarkan akad syariah.
- Pengguna/Masyarakat – peminjam maupun konsumen.
- Teknologi Pendukung – blockchain, big data, dan smart contract yang menjamin efisiensi dan transparansi.
Teori yang Mendasari
1. Disrupsi
Konsep disrupsi menjelaskan bagaimana inovasi baru dapat menggantikan model lama. Fintech syariah hadir sebagai inovasi disruptif karena mampu menyediakan layanan keuangan lebih cepat, murah, dan mudah bagi segmen yang tidak terlayani bank tradisional.
2. Sharing Economy
Fintech syariah banyak menggunakan model crowdfunding atau P2P lending, di mana dana dari banyak pihak dihimpun untuk membiayai usaha. Model ini sesuai semangat sharing economy: berbagi akses dan manfaat antar masyarakat.
3. Spontaneous Deregulation
Perkembangan teknologi yang pesat seringkali lebih cepat daripada regulasi. Hal ini memunculkan fenomena “spontaneous deregulation”, di mana praktik berjalan dulu sebelum aturan menyusul. OJK merespons lewat POJK No.10/2022, memastikan inovasi tetap dalam koridor hukum dan syariah.
4. Motivasi Agen dalam Kerangka Syariah
Dalam teori ekonomi Islam, agen (penyelenggara platform) tidak hanya mengejar profit, tapi juga memikul tanggung jawab moral untuk menjaga amanah. Melalui akad wakalah bi al-ujrah, agen mendapatkan imbalan jasa yang sah tanpa harus mengambil keuntungan dari bunga (riba).
Fatwa DSN-MUI: Pondasi Syariah
Landasan syariah fintech sudah jelas tertuang dalam fatwa:
- Fatwa No.116/2017 – Uang Elektronik Syariah, mengatur akad wadi’ah dan qardh.
- Fatwa No.117/2018 – Layanan Pembiayaan Berbasis TI Syariah, mengatur penggunaan akad qardh, murabahah, musyarakah, dan mudharabah.
Fatwa ini menegaskan bahwa meski berbasis aplikasi, fintech tetap wajib mengikuti prinsip syariah dalam setiap transaksi.
Penutup
Fintech syariah adalah contoh nyata pertemuan antara inovasi digital dan nilai agama. Dengan dukungan fatwa DSN-MUI, regulasi OJK, serta partisipasi delapan pemain kunci dalam ekosistemnya, fintech syariah diproyeksikan terus berkembang. Tantangan seperti literasi masyarakat, kepatuhan akad, dan pengawasan harus terus diatasi. Jika berhasil, fintech syariah bukan hanya instrumen ekonomi, tapi juga wujud nyata inklusi keuangan yang adil, etis, dan sesuai syariat Islam.