Seminar AREBI: Transformasi Industri Broker Properti, Regulasi Baru dan Perlindungan Hukum

Seminar AREBI: Transformasi Industri Broker Properti, Regulasi Baru dan Perlindungan Hukum
Seminar AREBI bahas peran pemerintah, tantangan regulasi, dan perlindungan hukum bagi pelaku industri properti

JAKARTA (RiauInfo) – Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) menggelar seminar dan talkshow bertajuk “Peran Pemerintah di Industri Broker Properti” di Jakarta Design Center, Senin (17/11/2025). Acara ini mempertemukan lintas instansi pemerintah dan AREBI untuk membahas arah kebijakan baru di sektor broker properti nasional. 

Kegiatan tersebut menghadirkan pembicara dari lembaga pemerintah: Muhammad Reza (Anggota KPPU), Mario Josko (Direktur Tertib Niaga Kementerian Perdagangan RI), Enzelin Sariah (Ketua Tim PMSE JP Kemendag, mewakili Plt. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa, Bambang Wisnubroto), serta Sri Bagus Arosyid (Direktur Pengawasan Kepatuhan Penyedia Barang dan Profesi Lain PPATK).  

Ketua Umum DPP AREBI, Clement Francis, membuka acara dengan menekankan pentingnya sinergi kuat antara pemerintah dan industri properti. Ia menyebut regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum harus berjalan seiring agar industri yang bernilai miliaran rupiah ini tumbuh secara sehat dan profesional.  

“Kami mengapresiasi lahirnya Permendag Nomor 33 Tahun 2025 sebagai langkah awal pembenahan industri broker properti. Regulasi ini menjadi fondasi bagi ekosistem yang lebih tertib dan terukur,” ujar Clement di hadapan peserta dari seluruh DPD dan DPC AREBI se-Indonesia.  

Ia juga mengungkapkan masih ada tantangan dalam proses sosialisasi peraturan baru tersebut. Menurutnya, beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab menyebarkan narasi negatif, menuding peraturan itu tidak efektif dan sekadar ‘cari duit’.  

Clement menyerukan kepada seluruh pelaku usaha properti agar menjaga marwah dan etika profesi dengan tidak terprovokasi. “Kita semua harus menunjukkan bahwa industri ini bisa bangkit dengan profesionalisme, bukan dengan isu yang menyesatkan,” lanjutnya.  

Dalam sambutannya, ia memaparkan komitmen AREBI dalam memperjuangkan sertifikasi nasional bagi agen serta penerapan kode etik dan integritas sebagai budaya kerja di setiap perusahaan anggota.  

Ia menambahkan, digitalisasi industri melalui MLS (Multiple Listing System) menjadi prioritas agar broker Indonesia dapat bersaing di era teknologi. Kolaborasi antara kementerian, KPPU, dan PPATK juga diperlukan untuk menyatukan arah kebijakan nasional.  

Harapan besar disampaikan kepada pemerintah agar regulasi terhadap praktik perantara ilegal diperkuat. AREBI mendorong sertifikasi profesi menjadi kewajiban nasional dan adanya sinkronisasi antar kebijakan lintas kementerian demi ekosistem properti yang transparan dan aman.  

Menurut Clement, industri properti yang kuat akan meningkatkan kepercayaan publik, memperkuat pasar domestik, dan membawa efek berganda terhadap ekonomi nasional.  

Paparan pertama disampaikan oleh Enzelin Sariah dari Kementerian Perdagangan yang menjelaskan perubahan kebijakan akibat diterbitkannya PP 28 Tahun 2025 dan Permendag 33 Tahun 2025.  

Dalam paparannya, ia memaparkan bahwa risiko usaha broker properti dinaikkan dari kategori “rendah” menjadi “menengah tinggi” demi mendorong standarisasi dan perlindungan konsumen.  

Pemerintah menegaskan bahwa seluruh perusahaan perantara perdagangan properti (P4) kini wajib berbadan hukum, memiliki tenaga ahli bersertifikat BNSP, serta menerapkan sistem pelaporan digital melalui Inatrade.  

Selain itu, setiap perusahaan wajib mempublikasikan NIB, menandatangani perjanjian tertulis dengan klien, dan tidak boleh memfasilitasi praktik berisiko seperti crowdfunding atau transaksi yang terkait TPPU.  

Mario Josko dari Kementerian Perdagangan memperkuat penjelasan dengan menekankan dua peran utama pemerintah, yakni sebagai pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaannya. Ia menilai aturan baru ini bertujuan membedakan broker profesional AREBI dari perantara informal yang tidak berizin.  

“Status risiko yang meningkat berarti pelaku usaha wajib memiliki Sertifikat Standar dan berbadan hukum. Ini bagian dari upaya menata industri agar lebih kompetitif,” tegas Mario.  

Hasil pengawasan sebelumnya menunjukkan masih banyak perusahaan belum memiliki tenaga ahli tersertifikasi dan belum melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun. Pemerintah, ujarnya, akan memperketat pengawasan melalui pemantauan izin dan kesesuaian aktivitas usaha di lapangan.  

Dari KPPU, Muhammad Reza menjelaskan peran lembaganya dalam menjaga persaingan usaha yang sehat di sektor properti. Ia menegaskan bahwa asosiasi tidak boleh menetapkan tarif atau harga layanan, karena itu bisa dikategorikan sebagai kartel.  

Mengutip kasus lama seperti kartel tarif SMS dan jasa depo peti kemas di Lampung, Reza mengingatkan agar pelaku usaha mengikuti batasan harga resmi dari pemerintah tanpa membuat kesepakatan internal yang mengikat antaranggota.  

Ia juga menguraikan sanksi baru berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, di mana pelanggaran persaingan usaha kini dikenai denda maksimal 50 persen dari keuntungan atau 10 persen dari penjualan, tanpa sanksi pidana.  

“Persaingan boleh saja, tapi jangan sampai saling menjegal. KPPU hadir untuk memastikan fairness dan keteraturan pasar,” tuturnya.  

Pemateri terakhir, Sri Bagus Arosyid dari PPATK, mengingatkan tentang meningkatnya risiko pencucian uang di industri properti. Banyak dana hasil kejahatan disamarkan lewat transaksi pembelian rumah atau tanah.

Sri Bagus menekankan pentingnya agen menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa (PMPJ) atau know your customer serta melaporkan transaksi di atas Rp 500 juta kepada PPATK dalam waktu 14 hari kerja.  

Menurutnya, agen yang patuh melaporkan kegiatan transaksi akan memperoleh perlindungan hukum formal berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.  

Ia juga mendorong seluruh agen untuk memiliki sertifikasi APU PPT guna memahami cara mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.  

“AREBI adalah mitra strategis PPATK. Kami ingin memastikan industri properti tidak menjadi celah kejahatan keuangan dan tetap terlindungi secara hukum,” ujarnya.  

Acara berakhir dengan kesepahaman antara AREBI dan pihak pemerintah untuk terus memperkuat kolaborasi lintas lembaga demi menciptakan ekosistem bisnis properti yang profesional, transparan, dan berintegritas. (*)

Berita Lainnya

Index