Kecacingan

oleh: DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA *)   Kecacingan termasuk dalam 11 dari 20 jenis penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang terdapat di Indonesia, selain Filariasis, Schistosomiasis, Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), Rabies, Frambusia, Lepra, Japanese B. Encephalitis, Cysticercosis, Fasciolopsis, dan Anthrax. Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Apa yang sebaiknya dilakukan? Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi cacing tanah di seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah, dimana parasit cacing ini secara intensif ditularkan, sehingga membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan. Cacing dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur pada tinja ini mencemari tanah. Penularan cacing ini dapat terjadi dalam beberapa cara, misalnya telur yang melekat pada sayuran atau buah yang tertelan, ketika sayuran atau buah tersebut  tidak dicuci, dikupas, atau dimasak secara berhati-hati. Selain itu, telur cacing dapat juga tertelan dari sumber air yang terkontaminasi dan telur yang tertelan langsung. Cara terakhir biasanya terjadi pada anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, dan kemudian memasukkan tangan mereka di mulut, tanpa mencucinya. Telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menetas di dalam tanah, lalu melepaskan larva yang dapat aktif menembus kulit telapak kaki. Orang akan mudah terinfeksi cacing tambang, terutama saat berjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasi. Kecacingan akan mengganggu status gizi orang yang terinfeksi dalam berbagai cara. Pertama, cacing memakan jaringan manusia, termasuk sel darah, yang menyebabkan hilangnya besi dan protein secara terus menerus. Kedua, cacing meningkatkan malabsorpsi atau gangguan penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus. Selain itu, cacing gelang (Ascaris lumbricoides) mungkin dapat mengganggu penyerapan vitamin A dalam usus. Beberapa jenis cacing tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan asupan gizi dan kebugaran fisik. Secara khusus, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dapat menyebabkan diare dan disentri, sedangkan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat mengakibatkan anemia. Pada tahun 2001, delegasi pada Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengesahkan resolusi yang berkode WHA54.19, yang mendesak berbagai negara endemik agar lebih serius menangani kecacingan, khususnya schistosomiasis dan cacing tanah. Orang yang berisiko adalah anak prasekolah, anak usia sekolah, wanita usia subur (termasuk wanita hamil pada trimester kedua dan ketiga dan wanita menyusui), dan orang dewasa yang dalam pekerjaannya berisiko tinggi, misalnya pemetik daun teh atau pekerja tambang. WHO menganjurkan dilakukannya pengobatan secara periodik dengan obat cacing, tanpa harus didiagnosis sebelumnya, untuk semua orang berisiko yang tinggal di daerah endemik. Pengobatan harus diberikan sekali setahun, sesuai prevalensi infeksi cacing tanah di masyarakat yang lebih dari 20%, dan dua kali setahun padabprevalensi yang lebih dari 50%. Sebagai tambahan, perlu juga dilakukan pendidikan kesehatan umum dan kebersihan, untuk mengurangi penularan dan infeksi cacing ulang, dengan mendorong perilaku hidup sehat. Selain itu, juga dengan perbaikan sanitasi yang memadai, meskipun terbukti juga sangat penting, tetapi tidak selalu mungkin di wilayah miskin sumber daya. Di seluruh Indonesia kegiatan tersebut telah dilakukan terpadu mulai saat anak masuk sekolah, misalnya pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan menggunakan sabun, pemeriksaan karies gigi, kelainan refraksi atau ketajaman penglihatan dan masalah gizi. Pada tahun 2015, lebih dari 361 juta anak sekolah telah diobati dengan obat cacing anthelminthic di banyak negara endemik di seluruh dunia, atau sekitar 63% dari semua anak beresiko. Sekolah merupakan titik masuk yang sangat baik untuk kegiatan pemberantasan kecacingan, karena memudahkan penyediaan pendidikan kesehatan dan kebersihan, seperti kegiatan mencuci tangan dan perbaikan sanitasi. WHO merekomendasikan obat cacing anthelminthic, yaitu albendazole (400 mg) dan mebendazole (500 mg), yang efektif, murah, dan mudah diberikan oleh tenaga non-medis, misalnya guru di sekolah. Target global adalah untuk menghilangkan morbiditas karena kecacingan pada anak sampai tahun 2020. Target ini akan tercapai dengan pengobatan rutin pada setidaknya 75% anak di daerah endemik, yaitu sekitar 873 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sudahkah Anda peduli terhadap anak di sekitar kita?   *) DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA adalah Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM  

Berita Lainnya

Index