Menyingkap Tabir Perkara Bioremediasi CPI

JAKARTA (RiauInfo) - Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Sudharmawati Ningsih, Senin (20/5) ini kembali menggelar sidang perkara kasus dugaaan korupsi proyek bioremediasi CPI yang menghadirkan tiga terdakwa karyawan CPI, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti dan Widodo.
Jumat lalu (17/5), Kejaksaan Agung menangkap paksa dan menahan, karyawan CPI lainnya, Bachtiar Abdul Fatah yang sudah dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dari status tersangka dalam kasus yang sama, untuk segera diajukan ke pengadilan. Sebelumnya yaitu 7 dan 8 Mei 2013, majelis hakim telah memvonis bersalah Ricksy Prematuri dan Herlan, keduanya kontraktor CPI, dan menghukum mereka dengan 5 dan 6 tahun penjara serta denda dan ganti rugi masing-masing 3 dan 6,8 juta dollar. Walaupun tampak bahwa waktu yang diberikan oleh majelis hakim kepada terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan jauh lebih sedikit (1-2 minggu saja) dari waktu untuk jaksa penuntut umum yang mencapai sekitar 4 bulan, persidangan diperkirakan akan mendengarkan vonis hakim atas semua terdakwa di awal Juni. Dalam keterangan persnya hari ini, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, berharap bahwa kali ini majelis hakim bisa lebih cermat dan hati-hati dalam mempertimbangkan semua fakta persidangan dan dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya. “Kami menyadari bahwa semua pihak termasuk majelis hakim dan jaksa tentu membenarkan tindakan dan keputusan mereka dengan alasan masing-masing namun semua itu seyogyanya untuk menjunjung tinggi kebenaran dan tetap menggunakan akal sehat. Kami percaya nurani kita selalu membimbing kepada kebenaran sejati, yaitu kebenaran Tuhan. Kami tetap yakin jika kali ini majelis hakim bisa lebih cermat dan hati-hati dalam mempertimbangkan semua fakta persidangan dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya,” ujar Dony. Konstruksi Hukum Yang Diabaikan Dony sangat menyayangkan bahwa penegak hukum telah mengabaikan konstruksi hukum yang tepat untuk dijadikan pedoman sejak awal dalam penyelesaian kasus ini sehingga tidak menjadi pemidanaan perkara di ranah hukum perdata. “Kami sangat menyayangkan bahwa Kejagung dan majelis hakim mengabaikan fakta hukum bahwa UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mencantumkan pelanggaran terhadap undang-undang migas ini sebagai tindak pidana korupsi seperti isi ketentuan Pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu secara yuridis formil, jelas tidak mungkin diterapkan tindak pidana korupsi terhadap pelanggaran UU Migas ini. Hal ini telah kami sampaikan sejak awal kepada Kejagung dan majelis hakim,” ungkap Dony. Menurut Dony, mengingat PSC adalah kontrak bisnis yang merujuk pada UU Migas dan berada di ranah hukum perdata maka pelanggaran kontrak PSC tidak dapat diterapkan pidana korupsi karena kontrak PSC mengikat CPI dan pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas seperti undang-undang. Kontrak proyek bioremediasi antara CPI dan GPI / SGJ, menurut Dony, merupakan kontrak antara dua pihak swasta murni dimana CPI sebagai pemberi kerja sehingga semakin tidak masuk akal jika diterapkan pidana korupsi karena kontrak tersebut sama sekali tidak melibatkan pihak pemerintah sebagai yang berkontrak,” jelas Dony. Mekanisme Cost Recovery Tidak Dipahami Dony memaparkan bahwa ketidakpahaman atas operasi migas dan mekanisme cost recovery dalam PSC menyebabkan penegak hukum mengambil kesimpulan yang tidak tepat. Ahli PSC dan pejabat SKK Migas sebagai manajemen KKKS telah menyampaikan bahwa dalam PSC ada tiga proses yang saling terkait berkenaan dengan penggantian biaya operasi atau cost recovery, yaitu (1) proses pengambilan hak atas minyak mentah atau lifting, (2) proses pelaporan biaya aktual, (3) proses penyelesaian kelebihan/kekurangan pengambilan atau over/under lifting. Menurut Dony, untuk mengatur biaya operasi mana yang bisa diganti, maka pemerintah menerbitkan PP No 79/2010 dan menetapkan 24 jenis biaya yang tidak dapat diberikan penggantian. Berdasarkan PP 79/2010, jika kontraktor telah mendapatkan penggantian biaya operasi namun jumlahnya tidak sesuai atau seharusnya tidak dapat dikategorikan sebagai biaya operasi maka pemerintah masih dapat menarik kembali jumlah selisih melalui mekanisme over/under lifting settlement. Pemerintah pun berwenang untuk melakukan audit sewaktu-waktu. “Mengingat PSC merupakan sistem otonom yang memiliki mekanisme kontrol dan koreksi atas penggantian biaya operasi dalam masa kontrak 20 – 30 tahun sehingga tidak akan ada kerugian Negara. Ini kesepakatan kontrak yang telah dibuat pemerintah Indonesia,” tegas Dony. Tuduhan dan Vonis Korupsi Atas Biaya Proyek Yang Belum Diganti Pemerintah Dony menjelaskan bahwa CPI telah mengeluarkan biaya proyek bioremediasi sekitar 10,5 juta dollar pada periode 2006-2011 dengan beban cost recovery sebesar 9,9 juta dollar sesuai dengan prosentase bagi hasil CPI dan pemerintah dalam PSC. CPI pun telah membayar kedua kontraktornya karena CPI menilai pekerjaan mereka sudah dilakukan sesuai kontrak proyek bioremediasi. Seperti telah dinyatakan beberapa pejabat SKK Migas dalam persidangan, lanjut Dony, cost recovery sebesar 9,9 juta dollar untuk proyek bioremediasi telah ditangguhkan oleh SKK Migas sampai didapatkan hasil audit yang menyeluruh terhadap proyek bioremediasi sesuai mekanisme PSC sehingga semua biaya proyek bioremediasi masih ditanggung oleh CPI. “Dengan penangguhan pengembalian biaya cost recovery ini maka Negara tidak mengalami kerugian apapun sehingga tidak ada dasar untuk tuduhan korupsi yang diajukan Kejagung dan tak beralasan bagi vonis hakim untuk meminta ganti rugi terhadap kontraktor CPI sebesar 9,9 juta dollar. Untuk ganti rugi siapa?” ujar Dony heran. Tuduhan dan Vonis Tak Punya Ijin yang Dipaksakan Dony memang tidak bisa menampik kenyataan bahwa majelis hakim terlalu memaksakan dalam memutus bersalah Herlan dan Ricksy, keduanya kontraktor CPI yang membantu menjalankan aktifitas sipil pengolahan bioremediasi di lapangan dengan alasan tidak memiliki ijin. Menurut Dony, majelis hakim telah mengabaikan penjelasan di persidangan dari pejabat KLH sebagai regulator di bidang lingkungan bahwa kedua kontraktor tidak memerlukan ijin karena mereka tidak menghasilkan limbah dan tidak memiliki fasilitas pengolahan bioremediasi sesuai dengan Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999. KLH tegas menyatakan ijin cukup dimiliki oleh CPI dan CPI sudah memiliki ijin tersebut. Selanjutnya ungkap Dony, majelis hakim hanya mengikuti penjelasan Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999 dari ahli yang ditunjuk Kejagung, Edison Effendi, yang notabene pernah terlibat proyek bioremediasi dan kalah tender di CPI tahun 2004, 2007 dan 2011 sehingga keterangannya bermuatan konflik kepentingan. “Buktinya ada dan sudah disampaikan dalam persidangan,” jelas Dony. Tuduhan Korupsi Yang Salah Sasaran Dony pun menegaskan bahwa proyek bioremediasi merupakan proyek resmi CPI yang wajib dijalankan sesuai mandat Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999 yang mengharuskan pengolahan limbah dijalankan oleh siapapun yang menghasilkan limbah. Seperti dikatakan pejabat KLH dalam persidangan bahwa proyek bioremediasi harus berjalan atau operasi migas CPI menjadi tidak taat hukum. Pejabat SKK Migas pun menyatakan bahwa SKK Migas telah menyetujui dan mengawasi proyek ini sejak pengajuan program kerja dan anggaran. Menurut Dony, para terdakwa yang merupakan karyawan CPI hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh manajemen perusahaan. Para terdakwa pun tidak memiliki akses untuk mempengaruhi dan memastikan pembayaran biaya kepada kontraktor karena ada mekanisme persetujuan dan pengawasan yang berlapis oleh bagian yang berbeda-beda dalam organisasi CPI. “Tak satupun dari para terdakwa yang berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek ini atau pembayarannya karena ini proyek perusahaan serta mandat PSC dan undang-undang lingkungan. Bahkan beberapa terdakwa tidak terlibat dalam proyek ini. Tuduhan yang ditujukan kepada para terdakwa ini jelas telah salah sasaran,” jelas Dony. “Kedua kontraktor yang membantu CPI, Sumigita Jaya dan Green Planet Indonesia hanya mengikuti dan mengacu kepada semua syarat kontrak proyek bioremediasi yang ditetapkan oleh CPI dan dinilai pekerjaannya pun oleh CPI. Mereka sama sekali tidak ada hubungan dan keterlibatan dengan perhitungan cost recovery yang disampaikan dan menjadi tanggungjawab CPI kepada SKK Migas,” ujar Dony. Masih Ada Kesempatan Meluruskan Dony menuturkan bahwa selama puluhan tahun, UU lingkungan dan KLH serta produk-produk peraturannya dijalankan sebagai acuan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia termasuk di operasi migas. Selama itu pula, UU Migas, PSC dan pedoman tata kerja (PTK) SKK Migas menjadi acuan dalam menjalankan operasi migas di Indonesia. Menurut Dony, setiap warga negara dan pelaku industri memerlukan kejelasan, kepastian dan konsistensi dalam penerapan dan penegakan hukum. Tindakan Kejagung dan vonis majelis hakim terhadap kedua kontraktor CPI telah menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam penegakan peraturan lingkungan karena putusan tersebut mengabaikan kesaksian pejabat KLH sebagai regulator di bidang lingkungan. Tindakan Kejagung dan vonis majelis hakim yang mengabaikan kesaksian dan pernyataan SKK Migas sebagai manajemen KKKS juga menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan PSC migas. “Jika kasus ini diteruskan sebagai kasus pidana korupsi, maka hal ini telah melanggar kesepakatan pemerintah Indonesia dan CPI dalam PSC yang merupakan kontrak bisnis di ranah hukum perdata dimana mekanisme penyelesaian perkara telah diatur secara jelas. Jika proyek ini tetap dianggap oleh Kejagung dan majelis hakim memiliki masalah maka biarlah mekanisme PSC yang telah disepakati pemerintah Indonesia untuk dijalankan bukan mempidanakan karyawan dan kontraktor CPI yang telah bekerja sesuai kontrak dan peraturan,” terang Dony. “Insya Allah, masih ada kesempatan bagi semua pihak khususnya penegak hukum untuk memakai akal sehat dan nurani dalam melihat persoalan ini secara jernih dan meluruskan kekeliruan yang telah dibuat. Tidak perlu ragu untuk bertindak yang benar. Tuhan Maha Pengampun dan tidak tidur,” pungkasnya.(***)

Berita Lainnya

Index