Ketua PWI Riau Beberkan Tantangan Jurnalisme Modern di Universitas Hang Tuah

Senin, 08 September 2025 | 23:32:14 WIB
Ketua PWI Riau Raja Isyam Azwar saat menjadi narasumber pada Kuliah Umum di Universitas Hang Tuah

PEKANBARU (Riauinfo) — Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Riau, Raja Isyam Azwar, hadir sebagai salah satu pemateri dalam Kuliah Umum di Universitas Hang Tuah Pekanbaru, pada Senin (8/9/2025). Kehadirannya disambut antusias oleh para mahasiswa baru yang sedang memasuki dunia perkuliahan. Kuliah umum ini menjadi wadah strategis untuk menanamkan pemahaman mendalam tentang peran vital jurnalisme di tengah pusaran arus digitalisasi yang kian deras.

Acara yang berlangsung di salah satu auditorium kampus ini bertujuan memberikan bekal awal kepada para calon intelektual muda tentang bagaimana media bekerja. Raja Isyam Azwar memulai sesinya dengan membuka wawasan para mahasiswa mengenai esensi dari profesi jurnalis. Ia menegaskan bahwa jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah profesi yang memiliki dampak besar terhadap dinamika sosial dan kemajuan bangsa. "Jurnalistik itu adalah pekerjaan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan," kata Raja Isyam, yang langsung menarik perhatian audiens.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tugas jurnalis tak hanya sebatas menyampaikan informasi. Jurnalis yang baik, menurutnya, adalah mereka yang juga mampu menjadi telinga bagi masyarakat. "Bukan hanya memberikan informasi, jurnalis harus mampu juga mendengarkan aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah," tambahnya. Pernyataan ini menegaskan fungsi jurnalis sebagai jembatan penghubung antara rakyat dan pemangku kebijakan, memastikan suara-suara kecil pun bisa sampai ke telinga yang tepat.

Dalam lanskap digital yang terus berubah, Raja Isyam menyebutkan bahwa peran jurnalis menjadi semakin krusial. Kecepatan informasi yang masif seringkali beriringan dengan penyebaran berita bohong. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa jurnalis tidak hanya dituntut menjadi penyampai informasi yang akurat, tetapi juga sebagai edukator masyarakat. Peran ini menuntut jurnalis untuk membimbing publik agar lebih bijak dalam mencerna setiap informasi yang diterima, membedakan antara fakta dan fiksi.

Ia juga menyoroti peran jurnalis sebagai katalisator perubahan sosial. Dengan menyajikan laporan yang mendalam dan berimbang, jurnalis dapat memicu diskusi publik yang sehat dan mendorong terjadinya perbaikan di berbagai sektor kehidupan. Laporan investigasi misalnya, dapat membongkar praktik-praktik yang merugikan publik dan memaksa pihak-pihak terkait untuk bertanggung jawab. Peran ini menjadikan jurnalis sebagai penjaga moral dan etika dalam bermasyarakat.

"Jurnalis harus adaptif terhadap perubahan," ujar Raja Isyam dengan lugas. Kemampuan beradaptasi ini sangat penting mengingat perubahan teknologi yang begitu cepat. Jurnalis dituntut untuk tidak hanya menguasai teknik reportase tradisional, tetapi juga memahami cara kerja media sosial, platform digital, dan algoritma yang mengatur penyebaran informasi di era modern.

Salah satu tantangan terbesar yang disinggungnya adalah maraknya hoaks atau berita palsu. Raja Isyam menegaskan pentingnya verifikasi fakta. "Mampu memverifikasi fakta di tengah banjir hoaks," katanya. Tugas ini menjadi sangat vital untuk menjaga kredibilitas media dan mencegah publik terjerumus dalam informasi yang menyesatkan. Tanpa verifikasi yang ketat, media justru bisa menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kode etik jurnalistik. Kode etik ini adalah pedoman moral yang harus dipegang teguh oleh setiap jurnalis. "Tetap memegang teguh kode etik jurnalistik untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik," tegasnya. Kode etik mengatur bagaimana jurnalis harus bersikap, mulai dari objektivitas, independensi, hingga perlindungan sumber berita.

Menurut Raja Isyam, jurnalis memiliki tanggung jawab besar untuk menyajikan informasi yang telah diverifikasi kebenarannya. "Jurnalis harus mampu menyajikan informasi yang telah diverifikasi kebenarannya agar tidak menjadi penyebar disinformasi," imbuhnya. Disinformasi dapat merusak tatanan sosial, memicu konflik, dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi media.

Ia juga menekankan bahwa menjunjung tinggi kode etik adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik. "Kemudian jurnalis harus menjunjung tinggi kode etik untuk menjaga integritas, objektivitas, dan membangun kembali kepercayaan publik," katanya. Dalam era di mana setiap orang bisa menjadi "jurnalis" dadakan melalui media sosial, profesionalisme jurnalis sejati yang berpegang pada kode etik menjadi pembeda yang signifikan.

Selain menjadi penyampai informasi dan edukator, jurnalis juga memiliki peran sentral sebagai pilar demokrasi. Raja Isyam menyebutkan bahwa jurnalis harus mampu mengawasi jalannya pemerintahan dan kebijakan yang dibuat. "Jurnalis juga harus mampu menjadi pilar demokrasi," kata dia. Fungsi pengawasan ini memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan bahwa pemerintah bekerja untuk kepentingan rakyat.

Fungsi pengawasan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Pers. Raja Isyam menegaskan bahwa jurnalis memiliki landasan hukum yang kuat untuk menjalankan tugasnya. "Harus mampu mengawasi jalannya pemerintahan dan kebijakan dengan menyuarakan aspirasi publik, sesuai dengan Undang-Undang Pers," imbuhnya. Undang-undang ini memberikan jaminan kebebasan pers dan melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Namun, Raja Isyam juga tidak memungkiri bahwa ada berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis di era digital. "Meskipun begitu, Raja Isyam menyebutkan jurnalis juga memiliki berbagai tantangan di tengah pesatnya perkembangan digitalisasi," ungkapnya. Tantangan-tantangan ini bisa datang dari berbagai arah, mulai dari tekanan ekonomi, politik, hingga maraknya informasi palsu.

Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya hoaks. Raja Isyam mengutip data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). "Kementerian Kominfo mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024 dengan tema politik dan keamanan," katanya. Data ini menunjukkan betapa seriusnya masalah disinformasi di Indonesia. Tantangan ini menuntut jurnalis untuk bekerja lebih keras dalam memverifikasi setiap informasi.

"Maka dari itu penyebaran informasi palsu harus bisa diatasi jurnalis, karena ini sangat menyangkut pada kepercayaan publik terhadap media," ungkapnya. Peran jurnalis sebagai penjaga gerbang informasi (gatekeeper) menjadi sangat penting. Kepercayaan publik adalah aset paling berharga bagi media, dan sekali hilang, sangat sulit untuk dikembalikan.

Selain tantangan hoaks, ada juga tantangan lain yang berkaitan dengan model bisnis media. "Jurnalis tentu memiliki tekanan untuk mendapatkan klik dan iklan," pungkasnya. Tekanan ini seringkali mendorong media untuk mengejar konten sensasional atau viral, yang pada akhirnya dapat mengorbankan kualitas dan kedalaman pemberitaan. Ini adalah dilema yang harus dihadapi oleh setiap jurnalis dan pemilik media.

"Ini tentu saja berdampak pada turunnya kualitas dan kedalaman pemberitaan," tambahnya. Alih-alih menyajikan laporan yang mendalam dan informatif, beberapa media mungkin lebih memilih berita-berita ringan yang bisa menarik banyak klik. Ini adalah ancaman nyata terhadap jurnalisme berkualitas. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip dasar profesinya di tengah tekanan ini.

 

Tags

Terkini