Waspada Penyakit Saat Liburan

oleh: DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA *)   Liburan panjang sangatlah menyenangkan. Penyakit yang sering terjadi saat liburan (Common Travel-Related Illnesses), perlu dicermati dan dikenali secara baik, tidak hanya oleh para wisatawan atau pelancong, tetapi juga oleh para dokter. Apa yang sebaiknya kita sadari? Sepanjang tahun 2015, terdapat lebih dari 1 miliar perjalanan di seluruh dunia, yang melintasi batas-batas negara dalam liburan internasional. Jumlah ini termasuk rekor 68,3 juta orang wisatawan Amerika Serikat yang meningkat 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Perjalanan ini pada umunya berhubungan dengan pariwisata, meskipun ada juga karena upaya kemanusiaan, globalisasi industri, atau pekerjaan migran, dan beberapa wisatawan telah mencari nasihat medis kepada dokter sebelum keberangkatan. Perlu kita ketahui tentang penyakit yang berhubungan dengan perjalanan (Common Travel-Related Illnesses), misalnya kolera. Infeksi bakteri kolera sering kali tanpa gejala, dan hanya 5-10% orang yang terinfeksi akan mengalami penyakit parah, yang ditandai dengan diare akut yang sangat cair. Selain itu, juga terjadi muntah yang dapat menyebabkan hipotensi berat, dehidrasi, syok, kram otot perut dan takikardia. Setelah masa inkubasi 24- 48 jam, gejala dimulai dengan diare berair yang tiba-tiba atau akut, tanpa rasa sakit, mungkin cepat menjadi hebat, dan sering diikuti dengan muntah-muntah. Setelah dehidrasi, hipoglikemia atau kadar gula darah menurun hebat, merupakan komplikasi mematikan yang paling umum infeksi bateri kolera pada wisatawan anak. Hipoglikemia terjadi karena asupan makanan berkurang selama penyakit akut, kehabisan atau exhaustion cadangan glikogen, dan gangguan glukoneogenesis sekunder substrat glukoneogenik pada lemak dan otot tidak cukup. Volume tinja selama kolera adalah jauh lebih banyak dibandingkan diare karena penyakit menular lainnya. Wisatawan dengan penyakit kolera berat mungkin memiliki volume tinja yang keluar lebih dari 250 mL/kg berat badan dalam waktu 24 jam. Selain bakteri kolera, para wisatawan juga harus waspada tentang bakteri penyebab penyakit demam tifoid atau tyfus. Tanda utamanya adalah kelemahan umum atau malaise yang sering berlanjut dari minggu pertama demam ke minggu kedua. Selama demam dalam minggu pertama, manifestasi klinis pada saluran cerna atau gastrointestinal adalah yang paling mudah dikenali dari demam tifoid yang sedang berkembang. Keluhan klinis termasuk sakit perut menyeluruh atau difus yang ringan atau ‘tenderness’. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, nyeri perut dapat sangat hebat atau kolik pada kuadran kanan atas perut. Hal ini disebabkan karena terjadinya infiltrasi sel monositik pada ‘patch Peyer’ usus besar, yang merupakan peradangan dalam usus dan dapat mempersempit diameter atau lumen usus. Hal ini akan menyebabkan sembelit atau kesulitan BAB yang berlangsung selama berlangsungnya penyakit akut. Wisatawan yang terkena tyfus kemudian akan mengalami batuk kering, sakit kepala pada dahi atau ‘dull frontal headache’, delirium atau mengigau, dan kelemahan umum atau malaise sampai penurunan kesadaran atau stupor, yang berlangsung dalam minggu kedua penyakit. Wisatawan dengan demam tyfoid yang mengalami demam tinggi akut adalah sangat langka pada minggu pertama. Beberapa wisatawan, terutama yang berkunjung ke daerah padat di Indonesia, India dan Afrika, terutama menunjukkan manifestasi neurologis, seperti delirium atau gangguan kesadaran, mirip dengan kasus yang sangat jarang, yaitu gejala parkinsonian atau sindrom Guillain-Barré. Komplikasi demam tyfoid yang tidak biasa lainnya termasuk pankreatitis, meningitis, orchitis, osteomyelitis, dan abses metastasis, pernah dilaporkan terjadi pada wisatawan. Untuk wisatawan yang akan berlibur, berziarah ataupun menjalankan ibadah umroh ke Timur Tengah, perlu juga mewaspadai Sindrom Pernafasan Timur Tengah atau ‘Middle East Respiratory Syndrome’ (MERS). Sampai saat ini, tidak ada pengobatan khusus dianjurkan untuk MERS. Meskipun demikian, wisatawan sebaiknya waspada karena masa inkubasi untuk infeksi ini biasanya kurang dari 2 minggu, tidak ada tanda peningkatan sel limfosit atau limfositosis seperti pada pemeriksaan laboratorium karena infeksi virus lain yang umum, tetapi justru terjadi penurunan atau limfopenia. Selain itu, tatalaksana atau manajemen klinis saat ini adalah bersifat mendukung atau ‘currently supportive’, dan vaksinasi untuk MERS belum dianjurkan, karena vaksin belum tersedia. Masa inkubasi infeksi MERS yang pernah dilaporkan rata-rata adalah 5,2 hari, tetapi dapat juga sampai 12 hari. Infeksi yang lain adalah demam dengue dan chikungunya.  Parasetamol (acetaminophen) adalah obat yang digunakan untuk mengurangi demam dan nyeri karena infeksi dengue atau  chikungunya. Penggunaan obat antivirus dan kortikosteroid tidak dianjurkan dalam banyak kasus. Sebaliknya, penggunaan sembarangan obat kortikosteroid, anti-inflamasi nonsteroid, dan antibiotik justru dapat mengakibatkan penurunan trombosit atau trombositopenia, gastritis, perdarahan gastrointestinal, dan gagal ginjal. Selain itu, secara tidak langsung berkontribusi terhadap mortalitas karena dengue dan  chikungunya secara keseluruhan. Pengobatan pada umumhya bersifat konservatif, yaitu meliputi pengelolaan ketidakseimbangan elektrolit, azotemia prerenal, dan pemantauan hemodinamik berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Dengan memahami berbagai penyakit terkait liburan (Common Travel-Related Illnesses) ini, tentunya para wisatawan akan dapat lebih cermat merencakan liburannya. Selain itu, para dokter juga dapat lebih waspada terhadap berbagai keluhan klinis pada wisatawan yang sedang ataupun sudah selesai menikmati libur. Sudahkah liburan Anda kali ini direncanakan dengan baik?   *) DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA adalah Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM  

Berita Lainnya

Index