Ternyata Pendidikan Kebangsaan Indonesia Diabaikan Pemerintah

JAKARTA (Riauinfo) -  Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB) kembali menyelenggarakan Diskusi Panel Serial ke-13 di Merak Room Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/9)/ Diskusi Membangun Budaya dan Nilai Keindonesiaan demi Masa Depan Bangsa itu mengetengahkan tema “Penanaman Nilai Keindonesiaan” dengan pembicara Mantan Rektor UK Satya Wacana Salatiga Dr. Willy Toisuta, Mantan Rektor UIN Prof. Dr. Komarudin Hidayat, dan Ketua Harian Unesco Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Arief Rachman.  Politisi Pontjo Sutowo selaku Pembina YSNB dalam pembukaan diskusi mengemukakan, Thomas L Friedman dalam bukunya The World is Flat menyebut dunia saat ini sebagai dunia yang rata. Pernyataan itu merupakan implikasi dari kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi yang membuat negara-negara ‘seolah-olah’ menjadi negara modern. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah nilai-nilai global yang masuk ke semua aspek kehidupan dan memarjinalkan nilai-nilai local yang sarat dengan muatan-muatan kebajikan. Implikasinya, menyebabkan lemahnya identitas kebangsaan dan kebanggaan seseorang terhadap negaranya. Sayangnya, kondisi ini seakan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Warga negara yang telah menyerahkan kedaulatannya pada pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan serta mencerdaskan anak keturunannya, dengan imbalan otoritas politik dan fasilitas gaji yang disepakati, ternyata tidak mendapatkan haknya. Pemerintah seakan memandang kekuasaan yang ada ditangannya sebagai hasil dari perebutan dengan biaya yang mahal sehingga tidak merasa bersalah ketika berfoya-foya menikmati fasilitas negara seakan merupakan hasil perburuannya.  Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan karena generasi saat ini seakan hanya menjadi generasi perusak, yaitu generasi malas, korup dan tidak serius mengemban amanat sejarah yang dengan susah payah dibangun oleh pejuang kemerdekaan. Karena itu, pada saat ini diperlukan pendidikan yang mampu membangun nilai-nilai keindonesiaan yang sama sejajar dengan nilai-nilai global, serta pendidikan yang menghasilkan kinerja yang tinggi.  Menurut Willy Toisuta pendidikan Indonesia saat ini sesungguhnya berada dalam keadaan ‘gawat darurat’. Sebab banyak data yang menunjukkan mutu pendidikan Indonesia kalah berdaya saing dengan negara lain. Seperti misalnya literasi sains anak Indonesia dalam tahun 2011 menduduki peringkat 40 dari 42 negara peserta. Program for International Assessment (PISA) dalam baca, matematika dan sains, pada tahun 2012 berada di peringkat 64 dari 65 negara. Literasi matematika 76% anak Indonesia tidak mencapai level 2, yaitu level minimal untuk keluar dari kategori low achievers. Minat baca serius anak Indonesia menurut data Unesco hanya 0,001 atau berarti hanya 1 orang dari 1000. Dan terakhir, pemetaan pendidikan tinggi Indonesia mencapai angka 49 dari 50 negara. Namun demikian menurut Willy Toisuta  semua hal itu sebenarnya dapat direvitalisasi. “Diperlukan sebuah pembelajaran yang bukan pendidikan nilai keindonesiaan tetapi nilai keindonesiaan dalam pendidikan,” kata Willy.  Sementara  menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, pendidikan kebangsaan dan keinternasionalan di Indonesia masih sangat kurang. Kurangnya pendidikan tersebut menyebabkan kondisi saat ini berbeda dengan kondisi saat Indonesia didirikan. Untuk itu, pembangunan jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan harus segera dilaksanakan, agar semua nilai ekonomi tidak lagi menjadi liberal dan semua nilai sosial tidak lagi menjadi individualism.  “Pendidikan yang sukses harus mampu mengantarkan anak menjadi bertaqwa, berkepribadian matang, berilmu mutakhir dan berprestasi, mempunyai rasa kebangsaan dan berwawasan global. Kesuksesan pendidikan tersebut, membutuhkan pendidikan kewarganegaraan yang mampu mendidik manusia memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Namun sayangnya, pendidikan ini diabaikan karena tidak termasuk dalam pendidikan yang diujikan secara nasional. Akibatnya pendidikan ini menjadi diabaikan,” kata Arief Rachman.  Hal senada juga ditegaskan mantan Rektor UIN Komarudin Hidayat. Ia menilai Indonesia sesungguhnya sedang  haus akan kebanggaan berindonesia. Namun kebanggaan tersebut tidak akan pernah terwujud jika para pemimpin tidak menghayati dan setia pada kebertuhanan, kemanusiaan, keadilan dan semangat menjaga persatuan serta menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan dalam membuat kebijakan publik dan dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan sampai Indonesia yang besar, dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki mimpi kecil dan wawasan yang kecil”, kata Komarudin Hidayat.   (Herman Ami)  

Berita Lainnya

Index