SBY Didesak Hentikan Kebakaran Hutan

PEKANBARU (RiauInfo): Greenpeace hari ini mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah penting mengatasi kebakaran hutan yang semakin meluas. Saat ini kebakaran hutan melanda wilayah Indonesia dimana Provinsi Riau di Sumatra, Kalimantan Tengah dan Barat, serta sebagian wilayah Sulawesi adalah daerah yang paling parah.
Mayoritas kebakaran ini diawali dengan sengaja oleh perusahaan minyak kelapa sawit dan hutan tanaman Industri untuk pembukaan lahan perkebunan. Hutan Indonesia hancur paling cepat di dunia, menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dunia yang menghasilkan polusi iklim. Sejak dua hari lalu tim Greenpeace bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk memadamkan api di Desa Pulau Gelang Kecamatan Kuala Cinaku, Riau bagian Selatan, menggunakan alat yang sudah dipersiapkan pada 2007 saat Greenpeace menyelenggarakan latihan pemadaman api. Tim pemadaman api ini yang berjumlah 15 orang ini beraksi diantaranya di area tertutup konsesi perkebunan kelapa sawit dimana api sudah melahap lebih dari 1.000 hektar tanah dan berdampak langsung pada pertanian milik masyarakat. Tim pemadaman api ini ditolak untuk masuk lebih jauh oleh perusahaan terkait. Di Provinsi Riau saja pada Juli 2009 tercatat 2.800 titik api dan diperkirakan akan makin banyak mengingat musim panas baru dimulai. Saat Riau terbakar, upaya pemerintah sangat menyedihkan – menyelenggarakan workshop pemadaman api empat hari dengan angkatan bersenjata Amerika Serikat yang diakhiri dengan simulasi pemadaman api. Mayoritas api di Riau berada di area hutan berlahan gambut kaya karbon, yang baru-baru ini diberi izin oleh Menteri Kehutanan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan industri. “Presiden Yudhoyono harus segera sadar akan adanya krisis iklim dan mengambil langkah segera dengan mendeklarasikan moratorium penebangan hutan. Di masa pemerintahannya yang kedua ini, SBY akan menjadi tokoh penting diantara delapan pemimpin dunia paling penting, yang berkesempatan mencatat sejarah untuk mengatasi perubahan iklim di Konferensi Iklim PBB di Kopenhagen Desember mendatang,” tegas Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. “Untuk memperlihatkan niat baiknya, SBY harus menciptakan kondisi ‘bebas kebakaran hutan’ tahun ini dan menghentikan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman Industri merusak hutan Indonesia. Jika itu terjadi, dana perlindungan hutan akan bisa segera mengalir dari negara-negara maju untuk dimanfaatkan dalam solusi berkelanjutan pemeliharaan hutan, demi masyarakat dan keanekaragaman hayati yang sangat bergantung pada hutan, serta memenangkan perang global melawan perubahan iklim,” tambah Zulfahmi. Indonesia mempunyai hukum untuk pembakar hutan yang diperkenalkan pada 1999 setelah kebakaran hutan pada 1997/98 menyebabkan asap tebal menyelimuti sebagian Indonesia dan negara-negara tetangga. Hukum ini menyebutkan hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah. Meski demikian, penegakan hukumnya sangat lemah. Juga kenyataan bahwa moratorium penebangan hutan yang pernah dinyatakan Gubernur Riau Wan Abu Bakar pada 2007, tidak pernah dilaksanakan oleh Gubernur saat ini Rusli Zainal. Hutan adalah kunci pertahanan melawan perubahan iklim karena hutan menyimpan banyak karbon. Ketika hutan dihancurkan, karbon terlepas ke udara dan menyebabkan perubahan iklim. Menghentikan penghancuran hutan tropis di negara seperti Indonesia akan menghentikan pelepasan karbon dalam jumlah sangat besar, dan merupakan cara yang paling cepat serta mudah untuk mempertahankan iklim global dalam level yang aman. Untuk mewujudkan hal ini, negara-negara maju yang secara historis bertanggung jawab menyebabkan perubahan iklim, dituntut menyediakan dana paling tidak US$40 miliar per tahun untuk digunakan memelihara hutan.(ad/rls)

Berita Lainnya

Index