Satu Rumpun Beda Kesejahteraan

news5168YOGYAKARTA (RiauInfo) - Relasi dua bangsa serumpun, antara Indonesia dan Malaysia, kerap dibumbui oleh sikap saling curiga dan kesan kesenjangan sosial, beberapa di antaranya menyangkut persinggungan di daerah perbatasan serta masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Seminar Indonesia-Malaysia Update 2008 sebetulnya dapat menjadi momentum untuk saling mempelajari kelebihan dan kekurangan masing-masing negara. Pada sesi pertama (27/05/2008), kru MelayuOnline.com berkesempatan mengikuti salah satu klaster, yaitu Klaster Media dan Kemasyarakatan 1, yang menyajikan empat pemakalah sekaligus, antara lain Wahyudi Kumorotomo dengan judul makalah “Perubahan Hubungan Fiskal Antarjenjang Pemerintahan: Studi Banding tentang Proses dan Efektivitas Kebijakan di Indonesia dan Malaysia”; Dr. Soni A. Nulhaqim dengan makalah “Dampak Migrasi Internasional terhadap Kesejahteraan Masyarakat”; Muhammad Raduan Bin Mohd Ariff dengan judul “Penguasaan Nelayan Bugis dalam Perusahaan Bagang di Pantai Timur, Sabah”; serta Hilda ST., MT., dengan makalah “Peranan Wanita terhadap Peningkatan ekonomi Keluarga di Kawasan Perbatasan (Studi Kasus Entikong, Kalimantan Barat)”. Wahyudi Kumorotomo memperoleh kesempatan pertama untuk menyajikan kajian perbandingan sistem keuangan pusat dan daerah yang terjadi di Malaysia dan di Indonesia. Menurutnya, pascaotonomi daerah, Indonesia mengalami perubahan besar dalam pengelolaan fiskal, yaitu adanya perimbangan pendapatan antara pusat (Jakarta) dan daerah (provinsi dan kabupaten-kabupaten di seluruh Indonesia). Sementara itu, di Malaysia perimbangan pendapatan antara federal (pusat) dan negara-negara bagian masih menggunakan sistem terpusat. Hanya saja, kata Wahyudi, meskipun Malaysia menerapkan sistem terpusat, pemerataan pembangunan relatif berlangsung dengan baik. Sebaliknya, meskipun Indonesia telah menganut sistem desentralisasi, tetapi pemerintah Indonesia belum mampu melakukan pemerataan pembangunan hingga ke daerah-daerah. Menurut Wahyudi, dua contoh sistem fiskal pada dua negara ini dapat saling belajar untuk menuju perkembangan yang lebih baik di masa depan. Indonesia, misalnya, dapat belajar dari Malaysia untuk mengupayakan pemerataan pembangunan, sehingga kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lainnya dapat diatasi. Sebaliknya, Malaysia dapat mengambil pengalaman Indonesia dalam mengelola konflik pascakeruntuhan rezim otoriter Orde Baru. Dalam pandangan Wahyudi, perkembangan demokrasi yang terjadi pada Pemilihan Rakyat Umum (PRU) 12 di Malaysia baru-baru ini, di mana partai pembangkang mampu merebut perhatian sebagian pemilih di Malaysia dapat menjadi pertanda bagi perubahan di bidang politik dan perimbangan keuangan negara federal dan negara bagian. Oleh sebab itu, pengalaman mengelola konflik yang pernah dialami oleh Indonesia juga menjadi berharga untuk dipelajari. Dalam tema yang cukup berbeda, Soni Nulhaqim menyoroti masalah TKI sebagai salah satu bentuk migrasi internasional. Dalam paparannya, Soni mengemukakan setidaknya ada dua sumber masalah yang kerap muncul dalam proses pengiriman TKI, yaitu masalah di daerah asal dan masalah di daerah tujuan. Di daerah asal calon TKI kerapkali menemui masalah baik dalam keluarga, hubungan dengan suami-istri, serta para agen TKI. Permasalahan lain menyusul setelah TKI sampai di daerah tujuan, yaitu mengalami penyiksaan dan diperlakukan tidak layak oleh majikan. Menanggapi statemen tersebut, seorang peserta diskusi, Yuhastina Sinaro dari Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) mengemukakan keberatannya. Menurutnya, persoalan TKI lebih banyak dikonstruksi oleh media massa, di mana kasus-kasus kekerasan memperoleh ekspos cukup besar sementara relasi normal antara majikan dan TKI luput dari pengamatan media. Oleh sebab itu, Naina menawarkan cara pandang yang lebih wajar, yaitu menyikapi masalah tersebut secara lebih proporsional. Makalah lainnya mengangkat ihwal peran perempuan di perbatasan Indonesia Malaysia. Menurut Hilda, pemakalah tema ini, peran perempuan di wilayah perbatasan cukup memprihatinkan. Dia mencontohkan, lebih dari 90% perempuan di wilayah Entikong, Kalimantan Barat, merupakan perempuan yang aktif bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Dalam kesempatan ini, Hilda juga memaparkan kesenjangan kemakmuran yang terjadi antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan. Potret kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan sangat ironis, baik mengenai sar ana fisik seperti jalan raya, kesediaan peluang kerja, serta fasilitas pendidikan. Apa yang digembar-gemborkan oleh pemerintah pusat mengenai pembangunan di wilayah perbatasan masih jauh dari kenyataan. Ibarat kata: satu darah, satu tanah, dan satu rumpun, tetapi antara Indonesia dan Malaysia jauh berbeda tingkat kesejahteraannya.(ad/rls)
 

Berita Lainnya

Index