Punya Ponsel Bagus Lebih Membanggakan Ketimbang Punya Buku Bagus

CERITANYA berbeda kalau ada buku yang cukup menarik perhatian (punya nilai kesenangan), atau memang sangat diperlukan (punya nilai kebutuhan), baru deh, kelihatan “daya beli” orang Indonesia di toko buku :).

Kedua Pola dan gaya hidup masyarakat konsumtif. Pola dan gaya hidup masyarakat yang memang tampaknya selalu ingin unjuk diri, pamer akan kelebihan-kelebihan dari segi materi. Kita belum pernah mendengar pujian misalnya “Wah bagus benar bukunya, buku seperti itu sudah langka lho di pasaran”. Yang akrab di telinga kita justru kata-kata seperti “ Wah bagus sekali ponselmu, berapa harganya ? apakah merek Nokia, Siemens, Motorola, Samsung. Wah pakai kamera lagi”. Pengetahuan yang kita peroleh melalui membaca buku memang tidak bisa tampak serta merta seperti pakaian misalnya.. Ia adalah asset yang hanya dapat disimpan untuk sekali-sekali digunakan. Ketiga, sistem pembelajaran di Indonesia. Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku (lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra dsb. Keempat, banyaknya jenis hiburan. Banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, surfing di internet walaupun yang terakhir ini masih dapat dimasukkan sebagai sarana membaca. Hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak. Kemudian, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall, supermarket. Kelima, pengaruh latar belakang budaya. Rendahnya minat baca mungkin juga adalah pengaruh latar belakang budaya kita yang memang tidak terbiasa dengan bacaan. Dulu para nenek moyang kita memperoleh lmu dengan cara bertapa dan semedi atau berguru pada orang-orang pintar. Kepandaian yang selalu disampaikan secara lisan turun-temurun. Selain kendala kultural seperti di atas, ada hambatan lain secara struktural hingga orang malas membaca. Budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal dikemukakan orangtua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu. Pengaruh Minat Baca yang Rendah Terhadap Sumber Daya Manusia. Makin rendahnya minat baca merupakan ancaman yang potensial mengganggu program peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang dan lapisan masyarakat lantaran ia bisa membikin tumpul kepekaan kita terhadap segala hal utamanya manusia dan kemanusiaan. Tingginya animo masyarakat untuk membaca surat kabar dan majalah saat ini sebagaimana tampak di instansi pemerintah dan perpustakaan tidak bisa dijadikan patokan bahwa minat baca sudah meningkat. Perlu diketahui bahwa membaca koran dan majalah hanyalah usaha yang susah payah untuk mengoleksi informasi atau untuk mengetahui peristiwa yang bersifat temporal atau sesaat. Persepsi umum untuk kegiatan membaca juga tidak selalu positif. Orang yang punya hobi membaca sering diasosiasikan sebagai orang yang introvent, suka menyendiri, atau bahkan asosial. Tidak heran, kaum pecinta buku disini sering diberi sebutan “kutu buku”, sebuah panggilan yang sebenarnya lebih bermakna ejekan ketimbang penghargaan. Umumnya masyarakat kita suka bacaan yang ringan, macam novel atau fiksi. Untuk jenis non-fiksi, akhir-akhir ini ada trend peningkatan minat untuk bacaan sastra seperti karangan Kahlil Gibran, atau kumpulan kisah-kisah inspiratif seperti serial “Chicken Soup”. Untuk buku-buku praktis, orang kita umumnya lebih suka buku yang sifatnya “how-to” ketimbang yang mengupas suatu hal secara mendalam.Tidak sedikit keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca. Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca (2007) mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun. Apa pasal? Sebab, pada masa 0-2 tahun perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca, kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau mendengarkan radio. Namun, apa sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa W Hasyim menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga. Sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan anak-anak. Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung. (Tamat)
 

Berita Lainnya

Index