PR Lingkungan Menumpuk

JAKARTA (Riauinfo)—Pekerjaan Rumah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di bidang lingkungan masih menumpuk dalam 100 hari terakhir pemerintahannya. Greenpeace Indonesia menggambarkan hal tersebut melalui empat film dokumenter pendek bertajuk Silent Heroes. Juru kampanye Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution mengatakan pemerintahan Presiden SBY masih meninggalkan banyak persoalan lingkungan terkait perlindungan hutan, keadilan energi, pencemaran air sungai, serta penangkapan ikan berlebih dan ilegal. Apabila tak segera diselesaikan, hal ini akan menjadi tambahan Pekerjaan Rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan selanjutnya. “Contoh ketidaktegasan pemerintah dalam perlindungan lingkungan yang berujung pada terancamnya sumber-sumber kesejahteraan dapat dilihat melalui dua film pendek tentang perjuangan masyarakat di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, dan di desa Pandumaan-Sipituhuta, Sumatera Utara. Terlihat jelas bagaimana masyarakat mempertahankan laut dan hutan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka, tetapi hal ini tidak didukung oleh sikap pemerintah yang cenderung alpa,” ujarnya usai peluncuran Silent Heroes di Kine Forum, Jumat (22/08). Selain itu dia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan akses energi listrik sebagai sumber kesejahteraan bagi masyarakat. Saat ini terdapat 60 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses listrik, terutama masyarakat adat, wilayah terpencil, dan pulau-pulau kecil. Padahal pemerintah terus menerus membangun pembangkit listrik besar terpusat yang utamanya mengandalkan batu bara. Ketidakmerataan ini menunjukan strategi tersebut belum efektif sehingga tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara adil., sebagaimana tergambar dalam kisah Komunitas Dayak Iban di Sui Utik, Kalimantan Barat. Arifsyah menegaskan solusi atas ketidakadilan energi saat ini adalah pengembangan sistem energi terdesentralisasi yang sesuai dengan potensi sumber daya  masing-masing daerah, dan mempertimbangkan kearifan lokal. Sebagaimana dikembangkan di Sui Utik melalui program Energi Terbarukan Nusantara (Enter Nusantara) yang diinisiasi Greenpeace bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Persoalan lain yang digambarkan film ini, lanjutnya, adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap sumber daya air sebagai kebutuhan pokok manusia. “Pemerintah belum melihat air sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum telah membuat mayoritas sungai di Indonesia tercemar limbah domestik dan B3 industri sebagaimana digambarkan dalam cerita tentang Ciliwung,” jelasnya. Oleh karena itu, menurut Arifsyah, sudah saatnya pemerintah mengubah dan melaksanakan kebijakan yang lebih menyeluruh di lapangan agar tekanan terhadap masyarakat tidak berlarut-larut. Pemerintah SBY harus segera mengambil langkah nyata untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada dalam 100 hari terakhir masa kerjanya. “Selain itu pemerintah baru juga harus bersiap dengan tumpukan pekerjaan rumah yang tak dapat diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya,” Pungkasnya.   —Pekerjaan Rumah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di bidang lingkungan masih menumpuk dalam 100 hari terakhir pemerintahannya. Greenpeace Indonesia menggambarkan hal tersebut melalui empat film dokumenter pendek bertajuk Silent Heroes. Juru kampanye Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution mengatakan pemerintahan Presiden SBY masih meninggalkan banyak persoalan lingkungan terkait perlindungan hutan, keadilan energi, pencemaran air sungai, serta penangkapan ikan berlebih dan ilegal. Apabila tak segera diselesaikan, hal ini akan menjadi tambahan Pekerjaan Rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan selanjutnya. “Contoh ketidaktegasan pemerintah dalam perlindungan lingkungan yang berujung pada terancamnya sumber-sumber kesejahteraan dapat dilihat melalui dua film pendek tentang perjuangan masyarakat di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, dan di desa Pandumaan-Sipituhuta, Sumatera Utara. Terlihat jelas bagaimana masyarakat mempertahankan laut dan hutan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka, tetapi hal ini tidak didukung oleh sikap pemerintah yang cenderung alpa,” ujarnya usai peluncuran Silent Heroes di Kine Forum, Jumat (22/08). Selain itu dia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan akses energi listrik sebagai sumber kesejahteraan bagi masyarakat. Saat ini terdapat 60 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses listrik, terutama masyarakat adat, wilayah terpencil, dan pulau-pulau kecil. Padahal pemerintah terus menerus membangun pembangkit listrik besar terpusat yang utamanya mengandalkan batu bara. Ketidakmerataan ini menunjukan strategi tersebut belum efektif sehingga tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara adil., sebagaimana tergambar dalam kisah Komunitas Dayak Iban di Sui Utik, Kalimantan Barat. Arifsyah menegaskan solusi atas ketidakadilan energi saat ini adalah pengembangan sistem energi terdesentralisasi yang sesuai dengan potensi sumber daya  masing-masing daerah, dan mempertimbangkan kearifan lokal. Sebagaimana dikembangkan di Sui Utik melalui program Energi Terbarukan Nusantara (Enter Nusantara) yang diinisiasi Greenpeace bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Persoalan lain yang digambarkan film ini, lanjutnya, adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap sumber daya air sebagai kebutuhan pokok manusia. “Pemerintah belum melihat air sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum telah membuat mayoritas sungai di Indonesia tercemar limbah domestik dan B3 industri sebagaimana digambarkan dalam cerita tentang Ciliwung,” jelasnya. Oleh karena itu, menurut Arifsyah, sudah saatnya pemerintah mengubah dan melaksanakan kebijakan yang lebih menyeluruh di lapangan agar tekanan terhadap masyarakat tidak berlarut-larut. Pemerintah SBY harus segera mengambil langkah nyata untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada dalam 100 hari terakhir masa kerjanya. “Selain itu pemerintah baru juga harus bersiap dengan tumpukan pekerjaan rumah yang tak dapat diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya,” Pungkasnya.  

Berita Lainnya

Index