Pers Pengatur Suhu Demokrasi

PEKANBARU (RiauInfo) - Peran pers yang strategis di era reformasi, telah memposisikan media sebagai pengatur suhu demokrasi. Namun tantangan yang dihadapi pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya juga tidak sedikit.
Demikian pendapat disampaikan Pengamat dan Praktisi Pers, DR. H. Syafriadi, SH, MH, dalam seminar bulanan yang ditaja Faklutas Hukum Universitas Islam Riau, Rabu pagi (20/2) di kampus UIR, Pekanbaru. Seminar bertajuk, Refleksi Kebebasan Pers Era Reformasi, juga menampilkan H. Husnu Abadi, SH, MH, Dosen HTN UIR sebagai nara sumber. Syafriadi berpendapat, peran pers yang strategis itu merupakan perjuangan panjang masyarakat sipil yang menghendaki pers nasional bebas, dan punca kebebasan itu diperoleh pertama kali oleh civil society setelah tumbangnya Orde Baru dibawah Presiden Soeharto, dan berganti dengan Orde Reformasi. ''Kontribusi terbesar Orde Reformasi dan Habibie adalah melahirkan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang memberi laluan kepada pers untuk bebas menjalankan kegiatan jurnalistik,'' tukas Syafriadi. Liberalisasi pers itu, menurut Ketua SPS Cabang Riau ini, ditandai dengan dihapusnya lembaga pembredelan, tidak dibenarkannya sensor terhadap media, dan ada adanya pelarangan penyiaran di dalam UU Pers. ''Ini berbeda dengan masa Orde Baru. Lebih dari 30 tahun pers dikooptasi oleh negara, dan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya secara maksimal. Tindakan-tindakan anti pers juga datang silih berganti menimpa pelaku-pelaku jurnalistik,'' ulas Syafriadi. Doktor ilmu hukum yang memdalami Hukum Pers lulusan Unisba ini menjelaskan, kebebasan pers yang sekarang dinikmati masyarakat pers, terjadi akibat perubahan sistem politik dan sistem pemerintahan dari otoritarian ke demokratis. ''Tanpa sistem yang demokratis tidak mungkin pers menikmati kebebasan. Jadi, kedua-duanya antara demokratisasi dengan kebebasan, menjadi dua hal yang saling terkait. Variabel keterpengaruhan dari kedua sistem itu sangat jelas hubungannya,'' tegas Syafriadi. Husnu Abadi sependapat dengan Syafriadi. Ahli Hukum Tata Negara ini mengurai satu persatu kasus yang menimpa pers sebagai konsekuensi kebebasan yang dialami oleh beberapa media di era reformasi. Misalnya kasus majalah Playboy, Tempo atau Harian Rakyat Merdeka. Kebebasan jurnalistik yang mereka lakonkan telah menghadapkan sejumlah pimpinan media bersangkutan ke meja hijau. ''Ini merupakan cost sosial yang harus ditanggung pers, tetapi di lain pihak kita juga harus berterima kasih karena pers telah hadir bersama rakyat mengontrol jalannya pemerintahan,'' ujar Husnu. ''Pers telah membongkar banyak kasus penyimpangan jalannya pemerintahan. Jadi, kebebasan itu memang penting untuk pers karena melalui pers lah kita tahu penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Walau diakui bahwa hambatan yang dihadapi pers dalam menjalankan fungsi kontrolnya, tidak sedikit,'' tambah Husnu. Seminar bulanan Fakultas Hukum UIR ini dibuka Dekan FH UIR, Prof Dr Syafrinaldi, dan dihadiri selain oleh dosen-dosen Fakultas Hukum juga mahasiswa. (rls)

Berita Lainnya

Index