“PERAHU Mengecam Eksplorasi Hutan di Rupat”

BEBERAPA tahun belakangan ini isu lingkungan sudah menjadi konsumsi harian bagi masyarakat dunia, hal ini dikarenakan fungsi lingkungan sebagai setabilitas ekosistem dunia suda mulai beralih fungsinya. Banyak hutan produktif dirambah menjadi perkebunan dan lahan industri. Belum lagi polusi yang semakin merajalela akibat filterisasi terhadap karbon yang berada diudara bebeas sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi yang semakin tidak kondusif seperti ini diperburuk dengan maraknya izin HTI (Hutan Tanaman Industri) yang diterbitkan oleh pemerintah yang notabane sebagai pembuat kebijakan. Lahan-lahan segar yang merupakan paru-paru dunia menjadi incaran empuk para pelaku kapitalisme dengan dalih telah mendapatkan izin HTI. Tidak terlepas dari itu semua, salah satu kawasan yang menjadi daerah konservasi NGO (Non Govermant Organisation) kami yaitu Pulau Rupat, sebuah pulau terluar berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, telah menjadi sebuah kawasan eksplorasi hutan secara masif oleh PT RSL (Sumatra Riang Lestari) dengan mengantongi izin HTI serta berceloteh telah melakukan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan hasilnya layak. Tanpa membuang-buang waktu dan kesempatan ribuan hektar hutan Pulau Rupat telah tergarap. dengan peralatan yang cukup memadai sehingga entah berapa juta kubik kayu telah mereka bawa keluar dari pulau ini dengan menggunakan ponton. Banyak pihak yang mengecam terutama pihak DPRD Kabupaten Bengkalis, meminta pemerintah pusat melakukan peninjauan kembali izin HTI yang telah diterbitkan. Kami atas nama PERAHU (Pecinta Rupat Hijau) sebuah NGO pemula ibarat pohon baru ingin bertunas, mengecam keras apa yang telah dilakuakan oleh PT RSL dan kami mencoba mencari perhatian NGO-NGO besar seperti WALHI, Greenpeace dan NGO lokal yg ada di Riau untuk bekerjasama menciptakan kestabilitasan lingkungan hidup yang ada disekitar kita baik kasus yang ada di Pulau Rupat maupun di daerah-daerah lain sehingga ekplorasi hutan secara masal dapat dihentikan secepatnya. Sehingga apa yang kita rasakan pada saat ini dapat dirasakan oleh anak cucu kita kedepan (Sustainable).*** Ismail Marzuki Ketua LSM-PERAHU Mahasiswa S-2 Universiti Kebangsaan Malaysia

Berita Lainnya

Index