Minat Membaca Hanya Sebatas Membaca Koran

INDIKATOR rendahnya minat baca adalah dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan yang memang masih jauh di bawah penerbitan buku di negeri-negeri maju. Negara disebut maju karena rakyatnya suka membaca. Ini dibuktikan dari jumlah buku yang diterbitkan dan jumlah perpustakaan yang ada di negeri itu.

Mengapa orang-orang (baik anak-anak maupun orang dewasa) Indonesia kurang berminat membaca? Padahal jika dicermati sejenak penerbitan majalah dan koran, dalam sepuluh tahun terakhir jumlah nama/judulnya sangat meningkat. Mestinya ini berarti makin banyak orang berminat membaca. Tetapi sayang, minat ini hanya terbatas pada membaca koran, majalah maupun novel. Sedangkan minat baca yang dimaksud tentunya juga membaca buku yang memuat pengetahuan yang menyebabkan masyarakat suatu negeri memiliki penduduk yang cerdas mampu bersaing setaraf dengan masyarakat negeri lain di bidang apa saja di dunia internasional. Ini terlihat dari buku yang terjual di bulan Mei sampai April, angka tertinggi Novel "Laskar Pelangi" karangan Andrea Hirarta sebanyak 250-300 eksemplar perbulan. Kedua "Ayat-ayat Cinta" sebanyak 120-an sampai 200-an eksemplar. Begitu juga pada kelas remaja Komik "Naruto" menduduki urutan teratas dengan penjualan 150-an eksemplar perbulan. Mengapa minat baca di Indonesia dikatakan rendah? Bicara soal minat baca masyarakat kita, pendapat orang tentang ini suka terpecah. Ada yang beranggapan memang minim, tapi ada juga yang menuding daya beli yang rendah yang membuat masyarakat kita kelihatan kurang doyan dengan kegiatan membaca. Lantas yang benar yang mana ya? Pertama soal daya beli dan harga buku yang mahal. arga buku yang sangat mahal sementara kondisi perekonomian masyarakat masih memprihatinkan. Orang tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok sehari-hari dari pada membeli buku. Asumsi ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena banyak orang yang secara ekonomi telah mampu justru tidak membeli buku. Mereka lebih memilih membeli hand phone terbaru (biasanya yang pakai kamera) buat anak-anaknya dari pada membeli buku. Pernahkah anda dengar ada orang tua yang memberikan hadiah ulang tahun berbentuk buku bacaan pada anaknya ?. Umumnya orang bersedia mengeluarkan uangnya dengan melihat salah satu atau dua faktor: nilai manfaat dan nilai kesenangan. Kenyataannya, kebanyakan orang kita tidak pernah pelit untuk urusan kesenangan. Setiap ada film baru yang bagus, loket di gedung-gedung bioskop akan penuh dengan antrian calon penonton. Hal yang sama kita lihat di mall, toko kaset, atau di restoran fast food. Hampir setiap saat akan selalu ada orang yang bersedia membelanjakan uangnya disana. Persoalannya sekarang, buku bagi sebagian besar diantara kita masih belum menjanjikan salah satu atau keduanya, baik nilai manfaat maupun kesenangan. Dalam skala prioritas, keluar uang untuk membeli buku akan berada di urutan terendah. Mau bukti? Berapa banyak sih diantara kita yang begitu terima gaji atau — bagi yang masih bergantung pada orangtua — mendapat uang saku lantas langsung ngacir ke toko buku? (bersambung)

Berita Lainnya

Index