Membiayai Kursus Sambil Menimba Ilmu

SEIRING PERKEMBANGAN EKONOMI dan fasilitas di propinsi Riau, semakin banyak karyawan perkantoran yang memiliki komputer berprosesor tinggi di rumahnya masing-masing. Sebagaimana di propinsi lainnya, banyak dari mereka yang kurang terampil dalam memberdayakannya. Peralatan yang seharusnya dioptimalkan itu hanya terpakai sedikit. Malah terkadang hanya dipakai untuk menulis teks (Word) dan menyusun data (Excel) yang variasinya pun terbatas.

Mungkin ada di antara mereka yang menyadari, yang kemudian terpikir untuk mengikuti kursus. Uang cukup untuk itu. Tetapi mengalami kesulitan waktu. Pagi-pagi harus sudah berada di kantor. Baru pulang sekitar matahari terbenam. Sementara banyak anak potensial yang pendidikannya terhenti sampai SMU hanya kerena keterbatasan biaya. Malah untuk kursus yang dianggap relatif lebih murah pun tidak punya. Sedangkan untuk cari kerja susahnya bukan main. Perusahaan memang sangat selektif menjadikan mereka sebagai karyawan, terlebih bila nantinya hanya akan menjadi counter produktive. Jadilah pengangguran. Rasanya klop sekali bila kedua problem di atas dipecahkan dengan menciptakan tradisi kerjasama yang komplementer, bak mur dan baut. Yang satu mengatasi kekurangan uang dan yang lain mengatasi kekurangan ilmu. Agar jelas simaklah cerita berikut ini : Seorang wanita karir yang berusia 40 tahun itu yang sangat sibuk di kantornya. Belum lagi kesibukannya mengurus keluarga. Untuk meringankan pekerjaannya di kantor, ia yang sering dipanggil Ny. Aminah itu bermaksud ingin mendalami "Microsoft Excel" dan "Microsoft Word", dengan mengikuti kursus di salah satu Lembaga Pendidikan Komputer. Sayangnya ia tidak mempunyai waktu. Apalagi tempatnya cukup jauh. Sebagai alternatifnya, dicarilah orang yang juga berminat dengan kursus tersebut, tetapi tidak mempunyai uang. Akhirnya memang ditemukan yang kebetulan anak tetangga, Luthfiana, seorang gadis yang berusia 18 tahun. Ia tidak bisa melanjutkan ke universitas karena faktor biaya. Maklumlah, penghasilan orangtuanya pas-pasan sebagai buruh rendah. Ia menyatakan kesediaannya membiayai biaya kursus Microsoft, tetapi dengan syarat, yaitu setelah berhasil menguasainya, gadis itu harus datang tiga kali seminggu pada pukul delapan malam. Maksudnya apalagi kalau bukan minta diajarkan program tersebut dengan menggunakan komputer yang sudah tersedia di rumahnya. Seperti "pucuk dicinta ulam tiba". Luthfiana menyanggupinya. Ny. Aminah langsung memberi uang secukupnya, yang meliputi untuk biaya kursus, buku, dan transport. Ceritanya Luthfiana berhasil menyelesaikan kursus serta dilanjutkan dengan melaksanakan kesepakatan. Dalam waktu enam minggu Ny. Aminah pun menguasai program tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam berbagai pekerjaan kantornya. Sementara Luthfiana semakin terampil memanfaatkan kedua jenis software tersebut. Bukan itu saja. Bila Ny. Aminah sejak itu berhasil menyelesaikan pekerjaan satu jam lebih cepat, maka Luthfiana mempunyai pekerjaan baru, yakni memberikan kursus privat pada malam hari kepada orang kantoran di rumahnya masing-masing. Sungguh suatu simbiose mutualisme dalam artian sebenarnya. Sangat tampak kredit point "Sumber Daya Manusia" pada keduanya tanpa "yang satu merasa berjasa kepada yang lain", tetapi tetap mengandung unsur kesetiakawanan. Penulis yakin, banyak pejabat pemerintah daerah Riau yang merasa terharu bila terjadi dikalangan warganya. Tetapi tentu saja tidak cukup sekedar bersikap demikian. Perlu ditindaklanjuti dengan memobilisasi, mengapresiasikan, atau menggerakannya. Karenanya tidak berlebihan bila pemerintah daerah Riau melalui Dinas Pendidikan Nasional melalui berbagai cara bersedia menciptakan tradisi demikian. Bukan saja dalam kaitan "kursus komputer", juga bidang lainnya. Lagian untuk ini tidak perlu mengorek anggaran pendidikan. Malah bila sukses tidak mustahil kelak akan menjadi proyek percontohan bagi propinsi lainnya. Penulis tinggal di Bandung, menekuni Bidang Studi: Reformasi Sains Matematika Teknologi. Email:[email protected]
 

Berita Lainnya

Index