Kusta Pada Anak

oleh: DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA *)   Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) diperingati setiap 31 Januari, diadakan untuk mengingatkan target global, yaitu tanpa kasus cacat terkait kusta pada anak (zero cases of leprosy-related disabilities). Disabilitas tersebut tidak terjadi dalam semalam, tetapi terjadi setelah dalam waktu cukup lama, kusta tidak terdiagnosis. Untuk itu, deteksi dini adalah kunci untuk mencapai target ini, bersama percepatan intervensi untuk mencegah penularan kusta. Apa yang sebaiknya kita ketahui? Kusta atau lepra adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Diagnosis dini dan pengobatan dengan obat kombinasi (MDT atau Multi Drug Therapy), penting dalam menghilangkan penyakit ini. Apabila tidak diobati, kusta dapat menyebabkan kerusakan progresif dan permanen pada kulit, saraf, anggota badan dan mata anak. Penatalaksanaan kasus kusta yang buruk dapat juga menyebabkan kusta menjadi progresif. Bakteri Mycobacterium leprae ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 2–3 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Kusta tercatat dalam peradaban kuno di Cina, Mesir dan India. Penyebutan kusta secara tertulis pertama dikenal pada 600 SM dan sejak itu penderita kusta sering dikucilkan oleh masyarakat dan keluarga mereka. Mekanisme penularan kusta yang tepat tidak diketahui. Setidaknya sampai saat ini, keyakinan yang paling banyak dipegang adalah bahwa penyakit ini ditularkan melalui kontak antara penderita kusta dan orang sehat. Bakteri M. leprae sebagai penyebab kusta ditemukan oleh Dr. GA. Hansen pada tahun 1873 dan merupakan bakteri pertama yang dikenali sebagai penyebab penyakit infeksi pada manusia. Diagnosis kusta paling sering didasarkan hanya pada tanda dan gejala klinis, yang cukup mudah dilakukan oleh petugas kesehatan pada layanan primer, setelah sebuah pelatihan kusta periode singkat. Hanya dalam kasus yang jarang memerlukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang medik lainnya, untuk mengkonfirmasi diagnosis kusta. Jumlah penderita kusta dari 121 negara sebanyak 175.554 kasus di akhir tahun 2014 dengan 213.899 kasus baru dan meningkat menjadi lebih dari 212.000 orang di seluruh dunia pada tahun 2015. Sebagian besar, yaitu 60% kasus, tinggal di India. Negara lain yang memiliki beban tinggi penyakit kusta adalah Brazil dan Indonesia. Meskipun demikian, status eliminasi kusta di Indonesia sebenarnya telah tercapai pada tahun 2000, dengan prevalensi kusta sebesar <1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2015 di Indonesia masaih dilaporkan adanya 17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). RS khusus kusta sampai dikurangi, sehingga saat ini tinggal 2,41% dari seluruh RS Khusus di Indonesia. Dari kasus baru setiap tahun, 8,9% adalah anak dan 6,7% kasus akan mengalami disabilitas yang mudah terlihat. Dalam sebuah negara atau daerah endemik, seorang anak harus dicurigai kusta jika menunjukkan satu dari tanda utama atau kardinal sebagai berikut, (1) lesi kulit berwarna putih atau leukoderma yang disertai dengan kehilangan sensorik atau anestesi yang pasti, dengan atau tanpa penebalan saraf dan (2) pemeriksaan apusan kulit positif bakteri kusta. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau ganda, biasanya kurang berpigmen dari kulit normal di sekitarnya, sehingga terlihat lebih putih. Gangguan sensorik atau anestesi adalah gambaran khas kusta, berupa hilangnya sensasi untuk sentuhan ringan. Saraf yang menebal, terutama batang saraf perifer, merupakan gambaran khas kusta yang lain. Penebalan saraf sering disertai dengan tanda hilangnya sensasi di kulit dan kelemahan otot yang diatur oleh saraf yang terkena. Apusan kulit positif berarti ditemukan bakteri berbentuk batang, bernoda merah dapat dilihat pada sediaan yang diambil dari kulit yang terkena, ketika diperiksa di bawah mikroskop dengan pewarnaan yang sesuai. Terobosan terapi pertama terjadi pada tahun 1940-an dengan pengembangan dapson, obat kusta pertama. Namun durasi pengobatan dengan dapson itu bertahun-tahun dan bahkan seumur hidup, sehingga sulit bagi pasien anak dan keluarganya untuk untuk mematuhi. Pada tahun 1960, bakteri M. leprae mulai menjadi resistensi terhadap dapson, yang dikenal sebagai obat anti-kusta satu-satunya di dunia pada saat itu. Pada awal 1960-an, ditemukan obat kusta lainnya, yaitu rifampisin dan clofazimine. Sejak tahun 1981, WHO merekomendasikan MDT yang terdiri dari 3 obat: dapson, rifampisin dan clofazimine, sehingga kombinasi obat ini mampu mematikan bakteri patogen dan menyembuhkan pasien kusta. Sejak tahun 1995, MDT diberikan gratis untuk semua pasien di dunia, awalnya melalui dana obat yang diberikan oleh Nippon Foundation, dan sejak tahun 2000 diberikan oleh Novartis dan Yayasan Novartis (the Novartis Foundation for Sustainable Development). Meskipun gerakan global untuk mengeliminasi kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat sudah sejak tahun 2000, tetapi kusta masih terus merusak kehidupan individu dan keluarga, bahkan berdampak pada masyarakat. Status eliminasi kusta di Indonesia sebenarnya telah tercapai pada tahun 2000, tetapi momentum Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) setiap 31 Januari, mengingatkan kita bahwa kusta dan stigmanya kini belum juga sepenuhnya hilang di Indonesia. Sudahkah kita menyadari, bahwa masih ada kusta di antara kita, juga pada anak?   ) DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA adalah Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM    

Berita Lainnya

Index