Kembalikan Tanah Adat yang Dirong-rong Perusahaan Besar"

PEKANBARU (RiauInfo) - Merujuk kepada beberapa kejadian konflik kelompok masyarakat dengan perusahaan besar, ditengarai karena timpangnya peruntukan wilayah perkebunan rakyat dengan perkebunan-perkebunan besar, dan juga tidak adanya PERDA yang mengatur peruntukan TANAH ADAT yang ada di Provinsi Riau,. 

Pasalnya, masih ada beberapa desa dan tanah adat yang masuk dalam HPH/TI perusahaan. Untuk itu, hak-hak tanah adat yang di rong-rong oleh perusahaan besar segera dapat dikembalikan. Semuanya terungkap dalam hearing Pansus RTRWP Riau dengan lima tokoh adat masing-masing Kabupaten/Kota di Ruang Komisi A DPRD Riau, Jumat (27/7). Dalam kesempatan hearing tersebut lima tokoh adat yang didampinggi Ketua Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA), Rinaldi. Kelima tokoh adat ini dan Ketua SEGERA diberikan kesempatan mengutarakan apa permasalahan yang akan disampaikan lima tokoh ada ini. Tabrani Rab (Ongah) dan empat tokoh adat yang berasal dari Bengkalis, Kampar, Kuangsing dan Siak, lainnya mengatakan beberapa permasalahan yang terjadi saat ini tidak di indahkan oleh beberapa perusahaan besar seperti PT. Arara Abadi, RAPP, IKPP dan beberapa perusahaan besar lainya sebagai pemegang HPH/TI. Sehinga hal ini menyebabkan pengrusakan lahan, penggusuran rumah, jalan-jalan yang dilalui masyarakat yang diberi ampang-ampang. Hal ini semakin membuat tidak jelasnya batas-batas antara HPH/TI dengan desa maupun Tanah adat. Konflik-konflik ini tentunya diakibatkan oleh ketidaktegasan Pemerintahan (Gubernur) dalam mengontrol peruntukan kawasan bagi kepentingan masyarakat banyak. Istilah inclaving dalam Keputusan Menteri, misalnya – untuk kasus PT. Arara Abadi – seolah-olah tidak berarti apa-apa, karena saat perusahaan melakukan pertemuan dalam kaitan penyelesaian konflik, perusahaan selalu mengatakan sudah mengantongi izin. Akan tetapi selalu lupa bahwa ada istilah inclaving dalam SK tersebut. Jadilah pemahaman perusahaan adalah, seluruh kawasan HPH/TInya, akan dikelola secara kesluruhan. Padahal seharusnya mereka mengeluarkan beberapa Perkebunan Rakyat, Tanah Adat, Tanah Ulayat, Desa/Kampung, dan lain sebagainya. Kasus ini dalam kesimpulan kami juga, bahwa pemerintahan juga tidak tegas dalam melakukan fungsinya. Selain dari itu, kita juga mesti mencermati kebijakan masa lalu pemerintahan Indonesia tentang distribusi tanah untuk rakyat yang termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Karena juga dalam perkembangannya, ada tanah-tanah hasil pembagian panitia landreeform bertumpang tindih dengan kawasan izin perkebunan besar. Padahal, subtansi UUPA jelas, memberikan kesejahteraan bagi rakyat dengan mendisribusikan tanah untuk pertanian. Intinya terkait dengan RTRWP Riau yang akan dibahas dan akan di sahkan nantinya di tingkat propinsi hingga kabupaten-kebupaten, kami menginginkan beberapa pokok pembahasan, diantaranya seperti Pemerintahan propinsi Riau dalam rangka pematangan RTRWP Riau meski juga memetakan wilayah konflik yang sudah menjadi pokok bahasan di tingkat Propinsi dan kabupaten-kabupaten, misalnya saja konflik antara masyarakat di lima kabupaten dan satu kota dengan PT. Arara Abadi, konflik-koflik lainnya. Wilayah konflik agraria ini kemudian diselesaikan terlebih dahulu posisi sebenarnya, dengan cara melakukan pemetaan ulang sesegera mungkin, serta mengeksplorasi hasil pemetaan kepada masyarakat dan instansi terkait. Artinya, penyelesaian konflik Agraria mempunyai posisi penting sebelum melakukan revisi RTRWP Riau. Jika penyelesaian konflik tidak terjadi, maka yang akan kita alami kedepan adalah, konflik berkepanjangan yang memang tidak kita inginkan. Pemerintah Provinsi Riau dalam penyusunan RTRWP haruslah memasukan Tanah Adat, sebab keberadaan tanah adat selama ini tidak jelas hukumnya di Riau. Pemerintahan Propinsi Riau mesti mengedepankan luasan lebih bagi perkebunan rakyat dalam RTRWP Riau yang sedang disusun, sesuai engan semangat reforma agraria plus yang sedang digaungkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), walaupun tidak mencerminkan reforma agraria sejati seperti amanat UUPA tahun 1960 dan Revisi RTRWP Riau harus didukung dengan pembuatan beberapa Perda terkait dengan penegasan wilayah Tanah Ulayat dan Tanah Adat di Riau. Sementara itu, Ketua Panitia Khusus Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau (RTRWP), H, Mastar, SH memberikan jawaban tentan beberapa masukan dan pertanyaan yang dilontarkan lima tokoh adat ini. "Kami selaku Pansus RTRWP akan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi saat ini. Semuanya, Insya Allah akan kita tuntaskan secara bersama-sama," kata Mastar. Menurut Mastar, tepatnya Ketua Pansus dan beberapa anggota pernah melakukan rapat dengan Pemerintah Provinsi Riau. Dalam rapat tersebut diputuskan untuk membuat tim kecil di Kabupaten Siak. Pada waktu itu, Menteri Kehutanan menyurati Bupati Siak. Jadi persoalan yang terjadi inclaving (batasan tanah) yang dibuat Bupati Siak berdasarkan desakan Menhut. "Saya akan beri copyan surat penting tersebut ke Ongah dan empat tokoh ada lainnya," terangnya. Berarti satu tugas telah selesai di Siak. "Apapun hasilnya, hal ini perlu ditinjau ulang," pintanya. Sementara itu, tiga Kabupaten seperti Bengkalis, Kampar dan Kuansing hingga saat ini belum sama sekali memberikan laporan batasan dengan lahan PT. AA tersebut. Jika tak ada aral melintang, Komisi A DPRD Riau akan terjun kelapangan usai 17 Agustus 2007 mendatang. Pertama akan terjun ke Siak, Kuansing, Pelalawan dan kedua di Indragiri Hulu dan Bengkalis. "Insya Allah kami yang duduk disini akan memperjuangkan nasib rakyatnya yang terrong-rong oleh perusahaan besar di Riau. Mari kita sama-sama saling bahu membahu untuk menuntaskan permasalahan ini," pungkasnya. (Dd)
 

Berita Lainnya

Index