INDIES: Tinjau Ulang Seluruh Perjanjian Bilateral di Bidang Perburuhan

PEKANBARU (RiauInfo) - Menyambut peringatan Hari Migran se-Dunia yang jatuh 18 Desember 2008 ini, Institute for National and Democratic Studies (INDIES) meminta pemerintah untuk meninjau ulang seluruh perjanjian bilateral di bidang perburuhan. 

Menurut INDIES, perjanjian-perjanjian bilateral di bidang perburuhan telah gagal memahami akar krisis yang melatari fenomena migrasi di Indonesia. Bahkan, telah turut memperburuk kehidupan dan mengabaikan perlindungan atas hak-hak dan kesejahteraan buruh migran Indonesia. Pernyataan tersebut tertuang dalam analisis kebijakan yang berjudul “Memorandum of Misunderstanding, Policy Brief on Bilateral Labor Agreement of Indonesia” yang disusun tim peneliti dari Institute for National and Democratic Studies (INDIES). Terdapat beberapa hal yang menurut INDIES menjadi penyebab ketidakefektifan perjanjian-perjanjian bilateral dalam memberikan perlindungan yang semestinya kepada buruh-buruh migrant Indonesia yang kini berjumlah sekitar enam juta jiwa yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Hal-hal tersebut adalah; Pertama, perjanjian-perjanjian tersebut disusun dengan sama sekali tidak bersandar pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak buruh migran. Hingga kini pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan perlindungan buruh migran yang tepat. Bahkan konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan seluruh Hak Buruh Migran dan Keluarganya, sebagai kerangka normatif perlindungan buruh migrant se-dunia masih belum juga diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Kedua, perjanjian-perjanjian bilateral di bidang perburuhan yang ditandatangani pemerintah pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pekerja di sektor formal. Padahal mayoritas buruh migrant Indonesia adalah pekerja di sektor informal. Ketiga, selain tidak menekankan perlindungan hak terhadap buruh migrant, beberapa perjanjian bilateral Indonesia di bidang perburuhan justru memberikan kekebalan hukum bagi pihak-pihak dari Negara penerima yang melakukan pelanggaran hak terhadap buruh migrant. Kasus “pengampunan terselubung” terhadap penganiaya Nirmala Bonat di Malaysia adalah contoh konkret dari masalah ini. Selain itu, tidak ada sanksi hokum yang berat kepada aparat pemerintah Negara—seperti RELA dari Malaysia--penerima yang terbukti telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak terhadap buruh migran. Keempat, perjanjian-perjanjian bilateral tersebut tidak disusun berdasarkan skala prioritas. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki masalah yang pelik mengenai perlindungan atas buruh-buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen. Meski ditujukan untuk menekan jumlah buruh migrant tidak berdokumen, namun perjanjian-perjanjian bilateral yang ditandatangani Indonesia justru mengabaikan pengakuan hak atas buruh-buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen. Kelima, perjanjian-perjanjian bilateral tersebut ditandatangani pada saat Pemerintah Indonesia sendiri gagal merumuskan kerangka kebijakan perlindungan yang komprehensif. Bahkan, kebijakan-kebijakan tertentu, seperti pemberlakuan terminal khusus kepulangan BMI (Gedung Pencatatan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia, GPKTKI atau “terminal IV”), justru menunjukkan pemerintah Indonesia masih cenderung mendiskriminasikan bahkan memperpanjang rantai pelanggaran hak yang menimpa buruh migran Indonesia. Situasi ini tentunya melemahkan posisi Indonesia dalam negosiasi-negosiasi bilateral yang membahas perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. Keenam, pemerintah Indonesia gagal merancang suatu proses negosiasi yang transparan dan partisipatif. Suara-suara buruh migran cenderung tidak diakomodir. Bahkan, pemerintah tidak memberikan kesempatan bagi buruh-buruh migrant Indonesia untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai materi-materi pokok perjanjian-perjanjian bilateral di bidang perburuhan. Pada saat ini, pemerintah tengah giat merancang perluasan kerjasama bilateral penempatan buruh migran Indonesia dengan memprioritaskan penempatan buruh migrant yang berketerampilan. Selain karena alasan target remitan yang lebih besar dari tingkat upah yang lebih tinggi bagi buruh migrant berketerampilan, pemerintah juga berasumsi bahwa pengiriman buruh migrant berketerampilan mampu menekan tingkat pelanggaran hak yang menimpa buruh migran. Asumsi ini tentu saja keliru. Sebab dalam kenyataannya, migrasi buruh internasional yang berlangsung di tengah era krisis globalisasi-neoliberal adalah bentuk-bentuk penghancuran tenaga produktif dalam skala global. Buruh-buruh migran Indonesia yang beketerampilan, dalam kenyataannya tidak pernah diberikan penghargaan sesuai dengan keterampilannya. Bahkan yang terjadi justru adanya proses deskilling (penghancuran keterampilan) dalam berbagai bentuk. Misalnya, di Jepang, melalui Japan Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA) pekerja-pekerja kesehatan lulusan sekolah tinggi keperawatan Indonesia hanya dihargai sebatas pekerja magang (trainee) dengan masa kerja yang sangat dibatasi. Selain itu, akses terhadap perlindungan sesungguhnya tidak sesederhana dengan mengirimkan buruh migrant berketerampilan. Selain karena buruh-buruh tersebut kerap tidak dibekali pengetahuan atas hak yang memadai, mereka pun tidak memiliki sarana-sarana yang bisa memungkinkan mereka untuk mendapatkan hak. Tidak ada klausul dalam perjanjian-perjanjian bilateral yang ditandatangani Indonesia yang memberikan hak-hak dasar buruh, seperti hak berserikat dan melakukan perundingan secara kolektif, hak untuk mendapatkan jaminan kerja yang layak dengan upah yang layak, dan hak-hak lain, khususnya yang terkait dengan posisi mereka sebagai pekerja migran. Oleh sebab itu, INDIES menuntut pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang bahkan mencabut seluruh perjanjian-perjanjian bilateral di bidang perburuhan yang telah ditandatangani Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut harus disusun ulang dengan memasukkan sebanyak mungkin unsur-unsur pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak bagi buruh migrant Indonesia. Upaya penyusunan dan negosiasi ulang perjanjian-perjanjian bilateral tersebut harus diawali dengan itikad pemerintah Indonesia untuk melakukan perombakan secara menyeluruh atas aturan-aturan migrasi serta aturan-aturan penempatan buruh migrant Indonesia dengan menghilangkan seluruh aspek yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hak terhadap buruh migrant. Perlu disadari, perjanjian-perjanjian bilateral adalah kerangka hukum satu-satunya yang sangat mempengaruhi bahkan menentukan nasib dan hak-hak buruh-buruh migran Indonesia. Oleh karenanya, perjanjian-perjanjian tersebut seyogyanya disusun secara hati-hati dengan memperhatikan berbagai aspek, khususnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak buruh migran Indonesia. Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam menyusun kerangka perjanjian bilateral yang memihak pada pengakuan dan perlindungan hak-hak buruh migran, sesungguhnya mengisyaratkan bahwa pemerintah sendirilah pelaku utama pelanggaran hak terhadap buruh migran Indonesia.(ad/rls)

Berita Lainnya

Index