Greenpeace beraksi pada pertemuan ASEAN+3

BANGKOK (RiauInfo) - Para delegasi yang menghadiri pertemuan ASEAN+3 di Bangkok, Thailand, hari ini dikejutkan dengan aksi Greenpeace yang memasang foto-foto korban bencana nuklir Chernobyl beserta spanduk bertajuk ‘Nuklir bukan solusi’.

Para aktivis meminta negara ASEAN agar tidak membahayakan masyarakatnya dengan investasi energi nuklir yang mahal dan berisiko tinggi, sebaliknya melakukan investasi pada sumber energi yang aman yakni energi terbarukan. ”Pemerintah Thailand seharusnya menyadari bahwa energi nuklir bukanlah solusi perubahan iklim, malahan melemahkan pertahanan energi negara dan bersifat tidak aman. Industri nuklir masih diwarnai berbagai kecelakaan dan penuh dengan kebohongan dan ketidakmampuan. Tragedy Chernobyl dapat saja terulang pada reaktor nuklir ’renaissance’ masa kini,” ujar Tara Buakamsri, manajer kampanye Greenpeace. ”Kami menyerukan pada para pemimpin ASEAN dan pemerintah Thai agar tidak terbujuk oleh industri nuklir yang ingin meningkatkan keuntungan mereka dan sebaliknya memimpin sebuah ’Revolusi Energi’ dengan diterapkannya teknologi energi terbarukan yang bersih dan hijau. Ledakan yang terjadi di reaktor nuklir Chernobyl 22 tahun silam tercatat dalam sejarah sebagai bencana nuklir sipil terbesar di dunia. Akibatnya dirasakan di seluruh dunia dan masih tersisa hari ini. Sebuah penelitian oleh Greenpeace di tahun 2006 dalam rangka memperingati 20 tahun bencana Chernobyl memperkirakan bahwa angka kematian sebagai akibat jangka panjang bencana tersebut hampir mencapai 100,000 orang.[i] Selain biaya yang terus meningkat, reaktor baru yang dimaksudkan menggunakan pengamanan pasif mulai menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Flamanville 3 di Prancis dan Olkiuloto 3 di Finlandia dirancang dan digembar-gemborkan sebagai bagian dari generasi nuklir baru yang aman. Namun sebaliknya, di tahun kedua konstruksi Olkiuloto 3 pada bulan Mei 2008, otoritas keamanan nuklir melaporkan 1,500 kasus permasalahan kualitas dan keamanan. Kasus-kasus seperti ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan parah. Pemerintah Thailand merencanakan pembangunan empat pembangkit listrik tenaga nuklir yang masing-masing bernilai $1 milyar. Untuk itu pihak pemerintah merencanakan sebuah kampanye humas besar-besaran untuk mengangkat citra industri nuklir guna memperoleh simpati publik Thailand. Sedangkan di Indonesia, kegiatan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di semenanjung Muria, Jawa Tengah dihentikan sementara setelah munculnya fatwa pada tahun 2007 oleh kelompok agama setempat, Nahdatul Ulama Jepara, yang mengharamkan pembangunan tersebut lantaran berada di atas lahan rawan gempa vulkanik dan dapat membahayakan keselamatan masyarakat sekitar. Namun pemerintah belum menyatakan pembatalan rencana pembangunan reaktor nuklir tersebut. “Pemerintah Indonesia tidak boleh dengan begitu saja mengabaikan penolakan masyarakat dan kelompok agama di sekitar lokasi rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir,” ujar Tessa de Ryck, juru kampanye nuklir Greenpeace. Pemerintah Indonesia tidak seharusnya memberikan perhatian begitu besar pada sesuatu yang begitu berbahaya dan menghabiskan begitu banyak uang. Seharusnya pemerintah menunjukkan komitmennya untuk memerangi perubahan iklim dengan memilih sumber energi terbarukan yang berlimpah di alam Indonesia. Inilah opsi-opsi aman dan bersih yang dapat menjamin kemerdekaan energi bagi generasi masa depan. Greenpeace berpendapat bahwa tidak ada ruang bagi energi nuklir dalam upaya dunia mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditargetkan mencapai setengahnya pada tahun 2050 guna menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Sebaliknya, Greenpeace menyerukan ’Revolusi Energi’, sebuah konsep berbasis sumber energi terbarukan dan efisiensi energi. Negara-negara yang memilih untuk menggunakan energi nuklir akan menemukan bahwa kemerdekaan dan pertahanan energi mereka bergantung pada segelintir negara dan perusahaan yang memiliki teknologi dan bahan bakar nuklir.(ak/rls)
 

Berita Lainnya

Index