Fasilitas LP Terbatas, Bulyan Dirawat di RS Harapan Kita

JAKARTA (RiauInfo) - Menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) bukanlah perkara mudah. Terlebih bagi seseorang yang sebelumnya menyandang status sebagai anggota DPR beralih menjadi tahanan korupsi. Kondisi tersebut kian merana, ketika saat menjalani masa hukuman, sang tahanan mengidap penyakit tertentu yang telah menahun (chronis-red).
Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi. Jumlah Narapidana (Napi) yang melebihi kapasitas adalah pemandangan lazim di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara proporsional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, sanitasi, hak untuk informasi, hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain. Mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan yang tersandung kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 M dan menjalani dua tahun penjara di LP Cipinang mengakui sulit bagi napi mengharapkan pengobatan yang memadai di penjara. Obat-obatan yang tersedia sangat minim dan dokter yang tersedia hanya dokter jaga. Akibatnya, napi sering kali bersama-sama mengupayakan sendiri pengobatan, terutama untuk membantu napi yang tidak punya uang. "Dokter yang betul-betul menangani napi adalah dokter napi. Mereka selalu siap menolong rekannya sesama napi yang sakit. Poliklinik di lembaga pemasyarakatan (LP) memang ada, tetapi sangat terbatas fasilitasnya," ujar juru bicara napi seluruh Indonesia, itu ketika itu. Kondisi tersebut kini dialami oleh salah satu napi tahanan korupsi anggota komisi V DPR RI, H. Bulyan Royan yang telah mengidap penyakit jantung sejak tahun 2003 atau setahun menjelang dilantik menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009. Terbatasnya fasilitas khususnya dokter spesialis menyebabkan anggota dewan dari pemilihan Riau itu dirawat di Rumah Sakit (RS) Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, di bilangan Jalan S. Parman, Jakarta Barat. Berdasarkan ringkasan medis RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang ditandatangani oleh Dr. Doni Firman Sp.JP, Bulyan dirawat di Ruang Paviliun dr. Sukaman sejak tanggal 14 Agustus lalu, dikarenakan diagnosa utama menderita unstable angina. Pada umumnya kata Dr. Doni, penderita unstable angina harus dirawat, agar pemberian obat dapat diawasi secara ketat dan terapi lain dapat diberikan bila perlu. Secara medis Angina (angina pektoris) merupakan nyeri dada sementara atau suatu perasaan tertekan, yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan oksigen.. Masih di ringkasan medis, Bulyan juga memperoleh diagnosa sekunder berupa DM with multiple complications, Hypertensive heart disease, Atherosclerotic heart disease, include : CAD, Coronary artery atheroma. Menurut ringkasan medis, Bulyan mengalami nyeri dada progresif sejak 1 bulan silam, dan riwayat kateterisasi dengan hasil 3 VD dan dianjurkan CABG tapi Bulyan menolak, dengan faktor resiko Diabetes Melitus dan Hipertensi. “Direncanakan Bulyan setelah stabil selama masa perawatan, direncanakan untuk kateterisasi pada tanggal 25 Agustus nanti, “ ujarnya. Majelis hakim Tipikor menjatuhkan vonis 2 tahun lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim agar menjatuhkan hukuman pidana selama 8 tahun kepada Bulyan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 20 kapal patroli di Departemen Perhubungan. Selain vonis 6 tahun, Bulyan juga diharuskan membayar denda Rp350juta subsider enam bulan penjara. Bulyan juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 2 miliar, dikurangi 80.000 dollar AS yang sudah disita KPK. Bulyan diduga menerima hadiah berupa uang dari para rekanan sebesar Rp 1,68 miliar dari Deddy Suwarsono, Suranto Ramli Rp 500 juta. Kresna Santosa Rp 500 juta, Hosea Liminata Rp 500 juta, dan Chandra Rp 250 juta Vonis Bulyan lebih berat jika dibandingkan dengan kasus korupsi lainnya yang secara nyata menyalahgunakan uang negara lebih besar seperti dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota komisi XI DPR RI senilai Rp31,5 Miliar. Bahkan Mahkamah Agung mengurangi hukuman mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah, mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala BI Biro Surabaya Rusli Simandjuntak. MA menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara (semula lima tahun) untuk Burhanudin, 3 tahun untuk Oey Hoey Tiong (sebelumnya 3,5 tahun), dan 3,5 tahun untuk Rusli Simandjuntak (semula empat tahun). Sebalilknya, MA tidak mengurangi hukuman mantan anggota DPR RI Hamka Yamdhu dan Anthony Zeidra Abidin. Hamka dihukum 2 tahun penjara, sementara Anthony 5 tahun penjara. Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp 207 juta subsider 6 bulan kurungan. Banyak pihak menyayangkan tingginya masa hukuman Bulyan dibanding kasus korupsi lainnya.. Sebab secara nyata Bulyan terbukti menerima uang dari para rekanan yang notabene para pengusaha, bukan melakukan penyalahgunaan uang negara.(ad/rls)

Berita Lainnya

Index