Etika Profesi Dokter Dalam Era JKN

oleh: DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA *)   Sejak 1 Januari 2014, secara nasional telah diberlakukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam era JKN, telah terjadi perubahan bentuk layanan kesehatan yang hampir total, dengan BPJS Kesehatan ditetapkan sebagai penjamin biaya pasien, termasuk jasa medis untuk dokter pada 26.220 buah faskes (fasilitas kesehatan) provider JKN. Bagaimana potensi pelanggaran etika dan disiplin profesi dokter dalam era JKN? Paling tidak akan terjadi 2 potensi besar pelanggaran etika oleh dokter, yaitu korupsi dengan fraud, serta pelanggaran disiplin profesi. Kajian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2013  dengan metode ‘prospective analysis’, menemukan  potensi korupsi  yakni  pertama,  adanya  konflik kepentingan  dalam  penyusunan  anggaran  dan  rangkap  jabatan pada Direksi   dan  Dewan  Pengawas BPJS Kesehatan, tanpa  ada  keterlibatan  pemerintah  dan  pihak  eksternal. Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam layanan. Ketiga,  terkait pengawasan yang masih  lemah, termasuk pengawasan  internal  yang tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta program JKN, dari 20 juta saat dikelola PT. Askes (Perero) menjadi 171.858.881 orang pada 23 Desember 2016. Kasus korupsi yang telah terbongkar adalah kejadian pada tahun 2014, saat Dinas Kesehatan menyetorkan uang kepada Bupati Subang Jawa Barat Bapak Ojang Sohandi, sebanyak Rp 1,6 miliar potongan dana kapitasi BPJS dan Rp 5,6 miliar dana APBD Dinkes Subang. Potensi korupsi juga terjadi pada program Jamkesda, karena sesuai aturan, Pemda langsung berhubungan dengan pihak rumah sakit dalam pembayaran klaim Jamkesda, yang belum terintegrasi dengan BPJS Kesehatan. ‘Fraud’ dalam era JKN adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk mencurangi atau mendapat manfaat lebih dari program JKN, dengan cara yang tidak pantas, sehingga merugikan negara sebagai penyelenggara dan penyandang dana. Beberapa penyimpangan yang melibatkan dokter berikut ini termasuk dalam kategori ‘fraud’ dalam era JKN, yaitu ‘upcoding’ (kode diagnosa dan tindakan medis yang lebih tinggi atau lebih kompleks dari yang sebenarnya), ‘phantom billing’ (tagihan yang tidak ada pelayanannya), ‘inflated bills’ (tagihan yang lebih tinggi dari yang seharusnya), ‘service unbundling or fragmentation’ (tindakan medis tidak langsung secara keseluruhan, tetapi dibuat beberapa kali), dan ‘unstandart of care’ (tindakan yang menyesuaikan tarif INA CBG, cenderung menurunkan kualitas dan standar pelayanan). Selain itu, juga ‘cancelled service’ (pembatalan layanan tetapi tetap ditagihkan), ‘no medical value’ (layanan yang tidak memberikan manfaat), ‘unnecessary treatment’ (layanan kesehatan yang tidak dibutuhkan pasien), ‘length of stay’ (perpanjangan masa rawat inap), dan ‘keystroke mistake’ (kesalahan dalam peng-inputan penagihan pasien). Dampak fraud dalam era JKN adalah memperparah ketimpangan geografis di Indonesia. Provinsi yang tidak memiliki dokter dan faskes yang memadai, tidak akan optimal menyerap dana JKN, termasuk penduduk di daerah sulit yang tidak memiliki akses yang mudah terhadap faskes, harus membayar sendiri dengan nilai sangat besar. Dana JKN akan tersedot ke daerah maju dan sering ‘fraud’, sedangkan masyarakat di daerah terpencil akan semakin sulit mendapat layanan kesehatan yang optimal. Di seluruh Indonesia, hingga pertengahan tahun 2015 lalu telah terdeteksi potensi fraud dari 175.774 buah klaim dari RS atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) dengan nilai Rp. 440 M. Potensi fraud ini baru dari berasal dari kelompok provider layanan kesehatan, belum termasuk dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan supplier alat kesehatan dan obat. Nilai tersebut juga belum menunjukan nilai sesungguhnya, mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam menjalankan profesinya seorang dokter harus memiliki enam nilai yang terdapat dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yaitu altruisme, responsibilitas, idealisme profesi, akuntabilitas terhadap pasien, integritas ilmiah dan integritas sosial. Pada FKTL dalam era JKN dengan sistem pembayaran ‘case-mix’, dalam pengajuan klaim diagnosa utama sesuai standar profesi, berbeda dengan diagnosa utama pada sistem ‘coding’ menurut PMK 52 dan 64 tahun 2016, tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan. Selain itu, diagnosa sekunder yang tidak bermakna, dapat dijadikan bermakna secara finansial. Dengan demikian independensi profesi dokter berpotensi goyah, karena dokter harus melibatkan faktor ekonomi dalam melakukan layanan medis. Hal ini bertentangan dengan KODEKI Pasal 2, yaitu seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Selain itu, juga KODEKI Pasal 8, yaitu setiap dokter wajib, dalam setiap praktek medisnya memberikan layanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas martabat manusia. Pada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dalam era JKN dengan sistem pembayaran kapitasi, besaran dana JKN dipengaruhi oleh jumlah peserta dan tarif kapitasi. Saat ini pembagian peserta JKN mengumpul di 8.202 puskesmas provider JKN, sedangkan di FKTP swasta dan 4.616 dokter praktek perorangan provider JKN variasi kepesertaannya sangat besar, mulai dari 100 peserta sampai puluhan ribu. Hal ini disebabkan karena BPJS menerapkan sistem ‘enrollment’ bebas, FKTP mencari sendiri peserta, sehingga berpotensi saling bersaing dan berisiko saling sengketa. Hal ini bertentangan dengan KODEKI Pasal 18, yaitu setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Juga KODEKI Pasal 19, yaitu setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis. Selain itu, sistem pelaporan FKTP meliputi data lengkap nama pasien, anmnesa, hasil pemeriksaan, dan diagnosis dalam rekam medik kepada BPJS setempat. Hal ini tidak sesuai dengan KODEKI Pasal 16, yaitu setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Potensi besar pelanggaran etika oleh dokter, yaitu korupsi dengan fraud, telah diantisipasi antara lain dengan kerja sama BPJS Kesehatan dengan KPK. MoU ini mengatur penerapan ‘Sistem Pencegahan Korupsi’, yang dilakukan dalam bentuk Peningkatan Kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN),  Penerapan Program Pengendalian Gratifikasi,  Penerapan ‘Whistle Blower System’, dengan Sosialisasi, Pendidikan Dan Pelatihan Anti Korupsi Berkelanjutan. Selain itu, juga Penelitian dan pengembangan, serta Pencegahan ‘fraud’ dalam Pelaksanaan Program JKN. Sistem pengendalian ‘fraud’ sudah mulai berjalan, terutama sejak terbitnya Permenkes nomor 36 tahun 2015, namun sampai sekarang masih perlu dilengkapi dengan berbagai kegiatan dan instrumen detail lainnya, untuk pencegahan, deteksi, dan penindakan ‘fraud’. Potensi besar pelanggaran disiplin profesi dokter, juga telah diantisipasi. Standar profesi dokter dipengaruhi oleh 4 standar lainnya, yaitu standar pendidikan yang ditentukan oleh kolegium, standar etika sesuai MKEK (Majelis Koehormatan Etika Kedokteran), standar kompetensi (diatur oleh IDI) dan standar pelayanan (sesuai PMK). Permasalahan sengketa medik yang melibatkan dokter selama ini, disebabkan karena 59% faktor standar pelayanan, 18 % kompetensi, 7% komunikasi, 6% ketidaknyamanan, 4% penelantaran, 4% urusan RT dan 2% pembiayaan. Tugas dan Wewenang IDI menurut UU no 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran adalah melakukan pengawasan dan pembinaan etika profesi (pasal 8), pembinaan dan pengawasan kendali mutu serta kendali biaya (pasal 49), dan pembinaan dokter untuk menghadirkan prakyek kedokteran bermutu (pasal 54). Potensi pelanggaran etika dan disiplin profesi dokter, perlu diantisipasi secara paripurna. Tidak hanya melibatkan segenap dokter provider JKN, tetapi juga para dokter muda di fakultas kedokteran. Sudahkah Anda berperan?   Disampaikan dalam Pembekalan Akhir untuk Dokter Muda FK UGM Angkatan Tahun 2011, di Auditorium FK UGM Yogyakarta pada Selasa, 3 Januari 2017.   *) DR. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA adalah Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM  

Berita Lainnya

Index