Menyoal Kedudukan Media di Era Baru: Transformasi atau Evolusi ?

BERGULIRNYA era reformasi, turut membawa era baru dalam dunia informasi di Indonesia. “Membludak”nya informasi yang terus bergulir silih berganti juga membawa media kepada sebuah peta kompetisi baru dan kepemiliikan media massa di Tanah Air. Bermula pada tahun 1998, sebagai awal dibukanya kran kebebasan pers di Indonesia, deregulasi bidang-bidang pers dan penyiaran, bidang informasi dan komunikasi serta media massa boleh dikatakan booming.
Betapa tidak, pada masa lalu untuk mendirikan sebuah industri media baik cetak maupun elektronik bukanlah sesuatu hal yang mudah dan murah. Pemilik modal pada masa itu harus mengantongi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan dan Percetakan). Untuk mendirikan sebuah industri media cetak (Koran atau majalah) pemilik modal harus memiliki puluhan bahkan ratusan juta rupiah, sehingga tidak semua pihak yang memiliki kesempatan dan berkemampuan untuk menerbitkan media cetak. Pada masa kini, media massa tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan bahkan bersifat otonom. Dimana media massa banyak beredar dengan beragam alternatif pilihan. Mengingat ketatnya persaingan media telah membawa media kepada pertarungan segmen pasar. Sehingga tidak aneh lagi jika kita temukan banyak media yang menyorot satu bidang atau spesifikasi tertentu saja. Informasi Sebagai Komoditas Terlepas apakah itu media cetak maupun elektronik milik pemerintah ataupun milik perseorangan (independen), yang jelas para pemilik industry media tampaknya telah memahami bahwa bidang-bidang media komunikasi merupakan komoditas bisnis yang bernilai ekonomis. Itu kenapa jika kita mau “melongok” lebih dalam lagi sebuah media banyak tren-tren baru dalam penyajian jurnalistik yang dimunculkan meninggalkan tren penyajian yang ideal. Bahkan tren enyajian yang bermunculan adalah tren yang tidak mengedepankan pola penyajain jirnalistik yang konservatif. Tetapi lebih mengacu dan mengandalkan terobosan-terobosan yang berorientasikan pada bagaimana menarik perhatian segmen. Kondisi ini mendorong kepada pemilik media menjadi competitor untuk menarik pasar, sehingga media di Indonesia termasuk juga di Riau para pelaku pers akan mengelola industry medianya sebagai sebuah bisnis yang menjanjikan berbanding idealism persnya (Lih. Novel Ali ; 1988) dan Severin (2000) bahwa media adalah ladang bisnis. Sebagai sebuah industri bisnis, media massa tentunya disadari oleh banyak pihak memiliki pengaruh yang sangat besar. Bagi para pemilik modal, media massa merupakan sarana bisnis. Sedangkan bagi para komunikator massa, khususnya kalangan wartawan dan karyawan media massa lainnya, media adalah sarana untuk meraih kepuasan profesi. Bagi kalangan masyarakat tertentu, khususnya tokoh pemuka pendapat, media massa merupakan infrastruktur kekuasaan. Adapun dimuatnya kebijakan-kebijakan, perundang-undangan, peraturan-peraturan, merupakan refleksi dari keterlibatan kalangan dominant class. Di lain pihak, kalangan masyarakat umum mengharapkan media massa sebagai alat kontrol sosial dan perubahan. Kedudukan Media Massa Saat ini Media massa adalah alat interaksi sosial yang memainkan berbagai peranan penting dalam masyarakat terutama sebagai alat perantara serta untuk meluaskan pandangan dan memungkinkan masyarakat memahami lingkungan persekitarannya. Keyakinan ilmuan tersebut terhadap media ini juga dikongsikan dengan Martin, dan Chaudhary (1983) yang juga mengungkapkan bahawa tanpa media massa, interaksi sosial, politik dan ekonomi tidak wujud di dalam masyarakat menurut ukuran moden. Dalam hal ini McQuail (1987) melukiskan, kedudukan media massa berada di antara dua lapisan sosial, iaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dengan demikian, media massa menjadi penghubung, bahkan bahagian yang menyatu pada sistem-sistem yang wujud di dalam sesebuah negara. Pada dasarnya kedudukan media massa saat ini sangat strategis. Informasi mengalir seolah tanpa batas atau sempadan yang menghubungkan antara masyarakat kalangan atas dan bawah. Namun, seiring perkembangan zaman dan banyaknya kepentingan yang bertarung didalamnya, kedudukan media massa dinilai sudah tidak ideal lagi. Ini dapat kita lihat melalui peran dan fungsi media massa yang sesungguhnya. Dibeberapa jenis media, peran dan fungsinya sudah mengacu pada peran dan fungsi bisnis semata. Saat ini sudah sangat jauh berkurangnya fungsi edukasi, nilai dan etika yang disiarkan. Berdalih atas dasar survey terhadap keperluan tontonan atau bacaan masyarakat, media massa kini justru banyak mengumbar nilai-nilai negatif dan fiksi untuk masyarakat. Bahkan ada beberapa aspek pemberitaan atau informasi yang terkesan sengaja digembar-gemborkan untuk kepentingan segelintir orang saja. Keadaan ini terjadi karena berlakunya konglomerasi media oleh “pemilik kuasa”. Tak jarang beberapa media dimiliki oleh satu orang atau bernaung dibawah satu industri media. Sehingga format, isi dan isu yang ditampilkan selalu sama. Akibatnya, media menjadi alat “perang” kepentingan oleh pemilik media dan para kroninya. Makanya dalam tulisan ini penulis menyebut dengan istilah “perebutan lahan”. Baik lahan bisnis, lahan kepentingan maupun lahan-lahan sensasi lainnya. Evolusi atau Transformasi? Sekali lagi, sangatlah wajar jika terjadi “perebutan lahan” bagi berbagai kelompok untuk menyuarakan kepentingannya. Bahkan didalamnya berlaku pula intervensi dan tekanan-tekanan dari berbagai pihak terhadap maupun oleh media itu sendiri. Sehingga keadaan ini menyebabkan media mengalami perubahan-perubahan bahkan telah mengalami evolusi fungsi yang “mencengangkan”. Mediamorfosis adalah perubahan bentuk media komunikasi, biasanya disebabkan oleh interaksi kompleks dari kebutuhan-kebutuhan penting, tekanan-tekanan kompetitif dan politis, dan inovasi-inovasi sosial dan teknologis (Werne Severin dan James Tankard : 2007). Esensi mediamorfosis adalah pemikiran bahwa media adalah “sistem adaptif, kompleks”. Yaitu media, sebagaimana sistem-sistem lain, merespons tekanan eksternal dengan proses reorganisasi-diri yang spontan. Media berevolusi menuju daya tahan hidup yang lebih tinggi dalam sebuah lingkungan yang selalu berubah. Sehingga wajar jika Roger Fidler menyebutkan bahwa transformasi media komunikasi biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan dan politik serta berbagai inovasi sosial dan teknologi (Roger Fidler : 2003). Mengingat kebutuhan-kebutuhan tersebutlah media massa senantiasa mengalami perubahan-perubahan besar baik secara struktur, esensi, bentuk dan jenis media itu sendiri. Misalnya saja, sejak munculnya phonograph 1877 oleh Thomas Alva Edison, kemudian awal 1925 radio dan diikuti dengan televise berwarna pada tahun 1953. Perkembangan media massa seperti tak terkendali. Akhirnya dengan berkembangnya dunia jaringan elektromagnetik, muncullah yang disebut media massa baru, yaitu media yang berkembang menggunakan jaringan internet. Buku atau Koran yang tadi hanya dapat dibaca dengan menggunakan media kertas kini dapat dibaca dengan menggunakan mediacyber. Dimana keadaan ini menuntut masyarakat harus mampu beradaptasi dengan perkembangan media komunikasi yang ada. Namun meskipun berbagai bentuk media muncul, bentuk media tertua tetap saja eksis. Meski harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan teknologi, buku, koran, dan majalah tetap ada di tengah kehidupan manusia. Penting bagi manusia untuk memiliki kemampuan literasi yang cakap. Bahkan sempat diadakan penelitian dan disimpulkan bahwa anak-anak tidak boleh terlalu banyak menonton televisi. Saat menonton televisi, mata anak-anak terpaku pada kotak televisi itu saja. Dengan demikian, mata mereka akan menjadi pasif, sementara untuk membaca mata harus bergerak membaca tulisan dari kiri ke kanan. Penting bagi manusia untuk tetap mengenal aksara daripada hanya sekedar audio-visual semata. Perubahan bentuk jurnalisme konvensional menjadi online bisa disebut sebagai mediamorfosis, media massa terus melakukan perubahan dari abad ke abad sesuai dengan hasil replikasi dari realitas sosial masyarakat. Sampai saat ini teknologi baru dapat secara akrab dengan realitas masyarakat secara time and space dengan real time. Teori Mediamorfosis bukanlah sekedar teori sebagai cara berpikir terpadu tentang evolusi teknologi media komunikasi. Alih-alih mempelajari setiap bentuk secara terpisah, mediamorfosis mendorong kita untuk memahami semua bentuk sebagai bagian dari sebuah sistem yang saling terkait, dan mencatat berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk-bentuk yang muncul dimasa lalu, masa sekarang dan yang sedang dalam proses kemunculannya. Dengan mempelajari sistem komunikasi secara menyeluruh, kita akan menemukan bahwa media baru tidak muncul begitu lama. Dan ketika bentuk-bentuk media komunikasi yang lebih baru muncul, bentuk-bentuk yang terdahulu biasanya tidak mati terus berkembang beradaptasi. Seperti halnya yang berlaku di Indonesia dan Riau pada khususnya. Diawali dengan onlinekompas.com kemudian banyak media massa yang mengembangkan sayapnya dengan memperkenalkan media onlinenya. Seperti detik.com, kompas.com bahkan di Riau juga sudah mulai tumbuh berkembang. Riaupos.com, riauterkini.com, riauinfo.com dan lain sebagainya. Dengan kemunculan media-media online tersebutlah, makanya dikatakan bahwa media massa telah mengalami proses evolusi. Media-media cetak mengalami proses adaptasi terhadap kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dan, dengan proses evolusi tersebut, pelaku media melakukan transformasi konten, struktur dan peran fungsi asas media untuk tetap dapat bertahan dan mampu ‘bertarung” merebut khalayak atau pengguna. Jelas terlihat, bahwa media massa di era baru telah mengalami transformasi dan juga evolusi secara bersamaan namun dalam perspektif yang berbeda. EKO HERO S.Sos Mahasiswa Program Master Media Dan Komunikasi Universiti Kebangsaan Malaysia

Berita Lainnya

Index