Pernikahan Anak: Tradisi atau Pelanggaran Hak Asasi

Pernikahan Anak: Tradisi atau Pelanggaran Hak Asasi
Ilustrasi: Majelis Pernikahan (AI Generated)

Oleh: Nisrina Zayyan Kamila, mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII) , Yogyakarta

Pernikahan anak merupakan isu yang menjadi perhatian dunia dan diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Menurut data UNICEF, sekitar satu dari lima anak perempuan di dunia menikah pada masa kanak-kanak. 

Pernikahan anak merupakan bentuk ketidaksetaraan gender yang mengakar, yang sebagian besar berdampak buruk bagi anak perempuan. Tindakan global yang dilakukan untuk menurunkan angka pernikahan anak ini, seperti tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyerukan untuk mengakhiri pernikahan anak ini pada tahun 2030. Pernikahan anak ini terus terjadi dengan dalih tradisi, apa upaya yang harus diambil untuk menghentikan isu ini tanpa menyinggung tradisi dan budaya? 

Pernikahan yang dapat dapat disebut sebagai pernikahan anak ketika salah satu atau kedua pasangan yang menikah berusia dibawah 18 tahun. Isu pernikahan anak merupakan masalah krusial yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Pernikahan anak yang terjadi biasanya merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Berbagai faktor lain juga dapat menjadi alasan terjadinya pernikahan anak, mulai dari kemiskinan, sulitnya akses pendidikan, serta masalah dalam keluarga. Kasus perkawinan anak di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, data pengadilan agama mencatat pengajuan permohonan dispensasi perkawinan anak pada tahun 2021 sebanyak 65 ribu kasus, dan 2022 sebanyak 55 ribu pengajuan. Pernikahan anak akan merampas masa kecil serta mempengaruhi kesejahteraan anak. Anak perempuan dibawah umur yang terlibat dalam pernikahan anak lebih berpotensi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tentunya akan berdampak pada kesehatan fisik maupun mental mereka.

Maraknya kasus pernikahan anak yang memberikan dampak negatif pada prakteknya, membuka mata pemerintah untuk mengambil tindakan baru, seperti perubahan batasan usia minimal menikah dari minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, menjadi 19 tahun untuk keduanya. Keputusan tersebut diambil karena semakin banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh anak perempuan. 

Pernikahan anak merupakan suatu tindak pelanggaran hak asasi manusia yang semakin mengkhawatirkan dan harus segera dihentikan. Ada beberapa cara untuk mencegah semakin banyaknya kasus perkawinan anak, seperti:

1. Pemberian akses pendidikan yang memadai

Ketika anak laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan belajar dengan akses yang memadai, mereka tentu memiliki pemikiran yang lebih matang sehingga dapat mempertimbangkan dari setiap tindakan yang dilakukan. Dengan pendidikan yang baik anak-anak dapat memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup sehingga tidak ada alasan untuk menikah dini karena kesulitan ekonomi. Pemerintah perlu memberikan lebih banyak lagi beasiswa bagi siswa-siswi di Indonesia dengan pemberian informasi yang baik di seluruh pelosok negeri. 

2. Meningkatkan peran pemerintah

Regulasi perizinan pernikahan anak tentunya dibuat oleh pemerintah. Memang perubahan batas usia pernikahan anak menjadi salah satu solusi pengurangan angka pernikahan anak, tetapi pemerintah tetap memberikan dispensasi pernikahan anak dengan syarat yang harus dipenuhi. Seharusnya pemerintah lebih memperketat aturan yang mereka buat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi. Dispensasi pada pernikahan anak seharusnya dihapuskan jika ingin menghentikan dampak negatif dari pernikahan anak.

3. Edukasi tentang kesehatan reproduksi

Selain rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga serta kemiskinan, anak perempuan dibawah 19 tahun memiliki reproduksi yang belum matang, sehingga kehamilan pada anak dibawah umur dapat meningkatkan potensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan bayi. 

Diluar dari perdebatan tentang pelanggaran hak asasi manusia pada pernikahan anak, banyak juga pihak yang menolak adanya larangan pernikahan anak yang dilatar belakangi oleh pendapat bahwa pernikahan anak merupakan sebuah tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Selain aspek tradisi, ada beberapa hal yang menjadi alasan terjadinya pernikahan anak seperti masalah ekonomi. Kemiskinan yang tidak terselesaikan menjadi pemicu terjadinya pernikahan anak yang dianggap sebagai jalan keluar, sehingga pengubahan batas usia pernikahan anak dianggap tidak akan menyelesaikan akar masalah utama. Selain itu, infrastruktur yang tidak merata pada daerah pelosok menjadikan sulitnya pemberian akses pendidikan yang memadai sehingga anak perempuan di daerah pelosok tidak memiliki pilihan lain.

Pernikahan pada anak memang harus dihapuskan, tetapi banyak aspek yang harus digabungkan baik dalam upaya hukum, pendidikan, infrastruktur serta kerjasama dari pemerintah, komunitas, dan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Pernikahan anak tidak dapat dihapus apabila pemerintah belum menemukan solusi yang berkelanjutan bagi kesejahteraan anak. Diperlukan edukasi terkait tradisi dan budaya yang dapat mengubah pemikiran masyarakat terkait pernikahan anak. Mari sama-sama berjuang untuk kesejahteraan anak di seluruh dunia. 

---------------------------

Biografi Penulis:

Nisrina Zayyan Kamila merupakan mahasiswa Hubungan Internasional dengan fokus pada aspek sosial. Penulis memiliki ketertarikan pada isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, perlindungan hak perempuan dan anak. Penulis berharap dapat ikut serta memperjuangkan hak-hak yang dirampas dari individu yang tertindas.

#Artikel Mahasiswa

Index

Berita Lainnya

Index