Budaya Kompetisi Yang Dibangun Di Indonesia Berpotensi Menghancurkan Negara

ynsb2 JAKARTA (Riauinfo) – Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) yang dibina poengusaha dan politisi Pontjo Sutowo kembali menggelar diskusi panel, Sabtu (6/8). Mengambil tempat di Merak Room Jakarta Convention Center, diskusi panel serial ke-12 itu mengetengahkan tema “Membangun Budaya dan Nilai Keindonesiaan demi Masa Depan Bangsa”, dengan pembicara Prof. Dr. Bambang Hidayat (Guru Besar ITB), Prof. Dr. Firmanzah (Rektor Paramadina), dan Dr. Ilham Habibie, putra mantan Presiden BJ Habibie. Pontjo Sutowo pada pembukaan diskusi mengingatkan, sejak era Ki Hajar Dewantara (1940), merdeka itu tidak hanya lepas dari kendali penjajah, namun juga kuat, kuasa, dan mandiri serta mampu meraih yang diharapkan, “Mardika iku jarwanya nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga”. “Sayangnya hingga saat ini Indonesia masih hanya dalam taraf lepas dari kendali penjajah, dan belum dalam taraf kuat, kuasa, dan mandiri serta mampu meraih yang diharapkan. Memprihatinkan,” ujar Pontjo. Kondisi tersebut, kata Pontjo lebih lanjut, menyebabkan bangsa Indonesia tertinggal dibanding negara-negara Asia dan Afrika, padahal Indonesia adalah pelopor kemerdekaan bangsa terjajah di dunia. Karena itu Pontjo menilai perlu adanya evaluasi agar kondisi tersebut dapat di jembatani agar menjadi kuat dan kuasa, juga mandir bahkan mampu meraih apa yang diharapkan para pendahulu kita. Sementara menurut Bambang Hidayat, usia Indonesia sebagai sebuah bangsa memang tidak muda lagi, karena telah berumur 71 tahun. Sehingga sudah semestinya, Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Dan untuk mampu bersaing dengan negara lain, tidak bisa tidak pendidikan mandiri harus terus ditingkatkan. Pendidikan mandiri yang tidak disandarkan pada uluran tangan donator yang kadang mengabaikan etika dan kebenaran. Sedangkan menurut Firmanzah, ketidakberhasilan Indonesia meraih taraf kuat, kuasa, dan mandiri serta mampu meraih apa yang diharapkan, karena Negara Indonesia hanya mengembangkan budaya kompetisi. Padahal negara lain di dunia bahkan juga perusahaan multinasional kini tidak lagi mengembangkan budaya kompetisi. Itu karena mereka menyadari budaya kompetisi seebenarnya hanya melahirkan benih benih perpecahan dan kehancuran. Karena itu negara maju kini banyak mengembangkan budaya kolaboratif atau kebersamaan. “Saya melihat diantara nilai-nilai budaya positif yang harus dikembangkan di Indonesia sudah menggantikan budaya kompetisi ke budaya kolaboratif. Selama ini hambatan terbesar bangsa kita adalah adanya ego-sektoral yang seringkali menjadi penghambat kerjasama, koordinasi dan komunikasi lintas sektoral. Padahal, di tengah persoalan bangsa dan negara yang semakin kompleks dan dinamis, nyaris tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan oleh hanya satu unit organisasi saja. Dibutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas lembaga agar penyelesaian masalah menjadi komprehensif dan tidak tambal sulam. Melalui semangat dan budaya kolaboratif tentunya akan banyak hal yang bisa dicarikan solusi bersama’, kata Firmanzah. Lebih jauh Firmanzah juga mengkritik media yang memediakan dalam headlinenya tema ‘Merayakan keberagaman’. “Keberagaman merupakan hal alamiah, sebenarnya yang harus dirayakan adalah kebersamaannya”, kata Firmanzah kembali. Dalam diskusi panel tersebut Ilham Habibie juga meyakinkan para peserta diskusi bahwa terdapat banyak hambatan sehingga menyebabkan negara Indonesia yang kuat, kuasa, dan mandiri serta mampu meraih apa yang diharapkan, menjadi sebuah keniscayaan. Negara stabil yang mempunyai ekonomi berdasar pengetahuan dan inovasi yang mampu menyejahterakan seluruh rakyat se-adil mungkin hanya dapat diraih jika negara mengembangkan inovasi, teknologi dan kewirausahaan dan kebersamaan di segala sisi. “Purwarupa dan industrialisasi sebagai aspek utama inovasi bahkan SDM. Dan teknologi hanya dapat diraih dengan mengedepankan budaya, sebab mereka berkaitan dengan manusia ”, katanya (Tuti Kirana Dewi/Herman Ami).  

Berita Lainnya

Index