Berjiwa Mesjid

Berjiwa Mesjid

Mesjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Didalam Al-Quran disebutkan bahwa yang mengimarahkan adalah yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, yang mendirikan sholat dan membayarkan zakat , dan yang sangat takut kepada Allah, (lihat Surah At-Taubah {9}:18). 

Mesjid adalah temoat yang suci, tempat ibadah, menimba ilmu dan beri'tikaf mesjid bukan sarana mengejar kepentingan dunia yang tidak berharga. Rasulullah pernah bersabda: "Barang siapa yang mendengar seseorang mencari barang yang hilang di mesjid maka katanya kepadanya, semoga Allah tidak akan mengembalikan barang mu itu, sesungguhnya mesjid tidak didirikan untuk perkara yang seperti ini". (H.R. Muslim, Abu Daud dan Ahmad). Penjelasannya mencari yang hilang adalah perkara dunia, maka jangan cemarkan mesjid dengan perkara remeh-temeh seperti itu! Pengurus mesjid yang diamanahkan untuk menjaga sebagai rumah Allah yang suci. Amanah maknanya ada hak jamaah yang menginginkan kenyamanan untuk beribadah di dalam mesjid. Bahkan pada mereka juga ada hak Allah yang menghendaki kesucian rumahNya untuk tidak dikotori, untuk tidak dinodai dengan kepentingan kuasa dan harta dunia. Maka, pengurus mesjid mestilah orang-orang pilihan yang mengetahui nilai-nilai mesjid. Mereka adalah orang yang paling sensitif dalam menjaga kesucian mesjid. Apa saja perkara yang bisa mengganggu kemuliaan mesjid maka awal-awa lagi sudah ditepikan, karena apabila ia berlaku maka ia adalah tindakan khianat terhadap masyarakat, Allah dan Islam. Berarti,pengurus mesjid mestilah berjiwa mesjid. Diantara perkara yang tidak layak diadakan di mesjid atau di halaman mesjid adalah pergelaran musik. Dentuman alat-alat musik yang memecahkan anak telinga, sungguh tidak sesuai dengan mesjid. Dan lebih tidak sesuai lagi apabila diadakan di bulan Ramadhan yang mulia. Sepatutnya alunan firman-firman Allah yang suci menghiasi malam-malam Ramadhan di angkasa negeri. Bahkan menjadi tradisi Islami di negeri Melayu ini. Maka janganlah sampai tradisi tadarus di negeri bertuah ini dicemari pula dengan hiburan yang bersifat duniawi. Maka pergelaran musik di halaman mesjid sekalipun menjadi haram hukumnya apabila remaja lelaki dan perempuan menjadi berbaur. "Apa saja yang membawa kepada yang haram, maka hukumnya tetaplah haram," demikian kaedah Ushul-Fiqih yang bisa memberikan jaminan bahwa perkara haram tidak berlaku dari suatu pertunjukan musik yang diadakan, maka suatu kaedah Ushul-Fiqih yang mesti dijadikan pegangan adalah 'menolak kerusakan (keburukan) adalah lebih diutamakan dari mengambil kemaslahatan". Dan supaya pengurus mesjid tidak keluar dari mesjid maka hendaklah mereka meminta pandangan terlebih dahulu kepada alim ulama apabila ingin melakukan sesuatu di mesjid. Mesjid bukan punya pengurus mesjid. Pengurus mesjid tidak lebih melainkan hanya sebagai yang berusaha untuk memenuhi jemaah yang menginginkan suasana ibadah di mesjid. Alangkah tercela dan naifnya apabila para alim ulma ditinggalkan dalam perkara yang menyangkut kemaslahatan umat mesjid. Di negeri Melayu, ulama sangat disanjung tinggi. Baru-baru inii seorang mufti di sebuah negeri jiran menyatakan bahwa salah satu group band tidak dibenarkan masuk ke negerinya untuk membuat suatu pertunjukan karena tindakan group band tidak beretika ketika tampil di negeri lain. Sikap yang demikian itu adalah untuk menjaga kemaslahatan umat di negerinya. Jadi, jangan ke kelingkungan mesjid, masuk ke negerinya pun tidak dibenarkan. Dan pemimpin negeri tersebut akur dan patuh dengan kebijaksanaan sang mufti, karena memang ia adalah tindakan yang wajar dan bertanggung jawab. Maka, pengurus mesjid disamping berjiwa mesjid, juga diharapkan untuk berkoordinasi dengan alim ulama; yaitu dengan makna sebenarnya, yaitu mereka yang tidak punya kepentingan apa-apa. Dengan demikian, maka nilai-nilai mesjid akan lebih terpelihara dari sebarang kepentingan yang merugikan jemaah dan umat seperti, mencari harta, kuasa dan popularitas. Apabila mesjid adalah sebagai tonggak utama di masyarakat Islam dan di negeri Melayu maka kemulian jiwa pengurus mesjid mestilah berpadanan dengan kemulian jiwa mesjid. Apabila tidak, maka kehancuran masyarakat itu hanya akan menunggu masa. Tidak ada maknanya sebuah mesjid yang besar dan megah, tetapi pengurusnya berjiwa kecil dan kerdil. Al-Fqir Ila Rabbih: Mustafa Umar


Berita Lainnya

Index