Andi Yusran: Beruntunnya kekalahan Golkar, Bukan Sebuah Acuan

PEKANBARU (RiauInfo) - Untuk kesekian kalinya Partai Golongan Karya (Golkar) harus mengusap dada. Pasalnya, kekalahan demi kekalahan pada pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Banten dan terakhir Jawa Tengah. 

Pertanyaannya, bagaimana kekalahan Golkar ini akan berulang lagi pada Pilkada selanjutnya. Apakah berarti Partai berlambang pohon beringin yang selalu berjaya pada masa Orde Baru dulu sudah mulai ditinggalkan. Menurut pengamat perpolitikan Riau Andi Yusran, segala kekalahan sebuah partai di beberapa daerah itu, tidak bisa langsung dinisbahkan bahwa partai tersebut tidak disukai atau tidak diminati lagi, termasuk dalam hal ini partai Golkar. Bisa saja kekalahan itu karena pasangan yang diusung memang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Apalagi disaat ini, para pemilih hingga kelas menengah ke bawah sudah cerdas memahami dalam menyikapi sebuah keadaan. Dan ini jelas berbeda pada masa lalu, sebelum reformasi, kata Andi yang ditemui di tempat tinggalnya jalan Utama Simpang Tiga. Andy putera Bugis asal Sulawesi Selatan ini menegaskan apa bila ada opini berkembang dimasyarakat tentang kekalahan dari suatu partai lalu diartikan kemerosotan, ini terlalu dini dan prematur. Karena dari hasil riset menyebutkan, Pilkada, pasangan calonlah yang menentukan, bukan partai. Partai hanyalah sebuah perahu. Coba kalau partai sudah besar dan terkenal. Tapi yang diusung tidak sesuai dengan kehendak rakyat setempat, kan sama saja bohong, paparnya serius. Selain itu paparnya, kalau pemilihan Legislatif, ini jelas berbeda. Paartai memang menjadi acuan dari pemilih. karena jelas pungsinya, mereka (anggota dewan, red) yang terpilih yang akan menentukan kemana arah kebijakan dari sebuah pemerintahan. "Pilkada tidak bisa serta merta dikatakan bila calon Golkar kalah diartikan sebagai menurunnya publik terhadap Golkar. Penilaian seperti ini menurutnya terlalu prematur. Karena perilaku pemilih bisa saja memang tidak memilih Golkar tapi dalam pencalonan legislatif si pemilih malah memilih calon dari Golkar. Pilkada memang berbeda nuansanya. Kalau legislatif itu memilih partai dominasinya tapi Pilkada lebih cenderung memilih orangnya," jelasnya. Menyinggung kemenangan pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah dari PDI-P, Andi meyakinkan, bahwa kasus demikian tidak bisa dijadikan contoh kasus nasional. Karena pemilih yang berkembang dan berada di Jawa dengan pemilih yang berada di luar Jawa itu berbeda. "Dan data yang menariknya adalah justru Golkar punya wilayah di luar Jawa bukan di Jawa," tegasnya. Ia mencontohkan, pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 dan 2004 Golkar justru berjaya di luar Jawa bukan di Jawa. Pulau Jawa itu tempatnya partai-partai seperti PDIP, Partai Demokrat, PKB, PKS dan yang lainnya. Tapi di luar Jawa justru Golkar menguasai pada dua pemilu yang lalu, sementara basisnya PDIP itu memang di Jawa Tengah," paparnya. Karena Jawa Tengah adalah basis PDIP, maka wajar saja bila dalam suatu forum di Makassar lalu Megawati pernah mengatakan bila calon PDIP di Jawa Tengah kalah maka dirinya akan berpikir ulang untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan. Bagi PDI-P Jawa Tengah itu adalah indikator karena memang di situlah basis mereka," ujarnya. Lanjutnya, kemenangan Bibit Waluyo-Rustriningsih dalam Pilkada Jateng memang sudah diprediksi sejak awal. Artinya, selain di sana memang basis PDI-P juga calon yang diusungnya benar-benar sesuai dengan keinginan publik. Bibit Waluyo adalah orang yang sangat dikenal di Jawa dan benar-benar cerminan orang Jawa, katanya. Selain itu, Andy juga mengatakan andaikata Bibit Waluyo-Rustriningsih diusung oleh partai selain PDIP maka tetap saja pasangan itu akan menang dalam Pilkada. Pasalnya antara sosok Bibit Waluyo dan Rustriningsih adalah kombinasi yang benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat Jawa Tengah. "Jadi ketika kedua orang ini bertemu dalam satu visi yang pro pada rakyat menengah ke bawah, didukung pula oleh partai yang juga mengidentifikasikan diri sebagai partai yang pro rakyat, maka klop-lah," ungkapnya. Andy menilai meski Golkar menguasai di luar Jawa namun itu bukan suatu jaminan juga Golkar akan menang bila partai berlambang beringin itu tak memilih pasangan cagubri dan wagubri yang tepat. Kasus di Jawa Tengah harus dijadikan cerminan bagi Golkar untuk memenangkan Pilkada di Riau. Soalnya meski Jawa Tengah adalah basis PDIP tapi bila partai itu tak memilih orang yang tepat, besar kemungkinan juga kalah, ujarnya. Untuk Pilkada di Riau sendiri, masih kata Andy, ada beberapa perbedaan mendasar dengan kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Pertama, di Jawa Tengah memang basisnya PDI-P bukan Golkar tapi Riau adalah basis Golkar. "Yang kedua di Jawa Tengah itu masyarakatnya lebih homogen sementara di Riau lebih heterogen. Beberapa variabel itu mengartikan bahwa nilai-nilai kepemimpinan yang diimpikan oleh publik di Riau berbeda dengan nilai-nilai kepemimpinan yang diinginkan oleh massa Jawa Tengah," jelasnya. Ditambahkan Andy, sudah seharusnya Golkar dalam mengusung calon pasangan untuk Pilkada nanti harus menampilkan pasangan yang mampu menawarkan program yang mencerminkan kepemimpinan lintas etnis. "Di Jawa Tengah, pasangan cagubri dan wagubri yang mengangkat nilai-nilai Jawa itu sudah bisa digandrungi. Tapi di Riau hal itu belum tentu bisa. Pasangan cagubri dan wagubri harus mencari nilai-nilai yang lintas etnis dan yang paling pas adalah nilai-nilai pembaharuan atau universal," paparnya mengakhiri.(muchtiar)
 

Berita Lainnya

Index