Menjaga Keyakinan Konsumen: Peran Fiqh dalam Sistem Jaminan Halal Indonesia

Selasa, 23 Desember 2025 | 17:40:48 WIB
Ilustrasi

Oleh: Azkia Maratun Al-Sholehah-Universitas Tazkia

Menjaga Halal Bukan Sekadar Label

Halal dalam konteks masyarakat modern telah mengalami pergeseran makna. Ia tidak lagi dipahami sebatas urusan personal antara individu dan keyakinannya, melainkan telah menjadi isu publik yang menyentuh aspek perlindungan konsumen, tanggung jawab industri, dan kebijakan negara. Di Indonesia, halal memiliki dimensi sosial yang kuat karena berkaitan langsung dengan mayoritas penduduk Muslim.

Dalam ajaran Islam, halal dan haram bukan sekadar pilihan, melainkan batas normatif yang mengikat. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 168. Perintah ini menunjukkan bahwa halal tidak berdiri sendiri, tetapi selalu beriringan dengan prinsip kebaikan dan kemaslahatan.

Halal juga memiliki implikasi spiritual yang mendalam. Apa yang dikonsumsi seseorang diyakini berpengaruh terhadap diterimanya ibadah dan kebersihan jiwa. Karena itu, fiqh memandang persoalan halal sebagai bagian dari penjagaan agama dan jiwa, dua tujuan utama dalam maqashid al-syariah.

Namun, tantangan muncul ketika konsep halal dihadapkan pada realitas industri modern. Produk tidak lagi sederhana, bahan tidak lagi mudah dikenali, dan proses produksi sering kali melibatkan banyak pihak lintas negara. Kondisi ini membuat penentuan halal tidak cukup hanya mengandalkan asumsi atau kepercayaan.

Di sinilah pentingnya memahami halal sebagai sistem, bukan sekadar label. Halal harus dijaga sejak dari bahan baku, proses produksi, hingga produk sampai ke tangan konsumen. Tanpa pendekatan menyeluruh, halal berisiko tereduksi menjadi simbol administratif yang kehilangan makna substansialnya.

Bahan Halal dan Kompleksitas Industri

Perkembangan industri pangan, farmasi, dan kosmetik telah menghadirkan tantangan baru dalam penentuan kehalalan bahan. Banyak produk modern menggunakan bahan tambahan, zat penolong, dan turunan kimia yang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Nama bahan yang asing sering kali menyulitkan konsumen untuk memastikan status kehalalannya.

Dalam fiqh Islam, bahan halal ditentukan berdasarkan asal-usul dan prosesnya. Ulama membedakan antara keharaman karena zat dan keharaman karena sebab eksternal. Babi, darah, bangkai, dan khamr jelas keharamannya, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 3. Namun, bahan yang pada dasarnya halal dapat berubah status jika tercemar atau diproses dengan cara yang tidak sesuai syariat.

Masalah menjadi semakin rumit ketika bahan tersebut merupakan hasil turunan, seperti gelatin, enzim, atau emulsifier. Dalam fiqh kontemporer, muncul perdebatan tentang konsep perubahan zat atau pencampuran yang menghilangkan sifat asal. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa fiqh halal bersifat dinamis dan terus berkembang.

Di tengah perbedaan tersebut, hadis Nabi Muhammad SAW tentang perkara syubhat menjadi rujukan penting. Rasulullah menegaskan bahwa meninggalkan perkara yang meragukan merupakan bentuk penjagaan agama dan kehormatan diri. Prinsip ini menempatkan kehati-hatian sebagai sikap ideal dalam konsumsi.

Karena itu, kehalalan bahan tidak bisa ditentukan secara sederhana. Dibutuhkan penelusuran ilmiah, kajian fiqh, dan sistem pengawasan yang ketat agar produk yang beredar benar-benar memenuhi standar halal, bukan sekadar klaim sepihak dari produsen.

Fiqh Kehati-hatian dan Pilihan Indonesia

Pendekatan halal yang diterapkan di Indonesia dikenal relatif ketat dibandingkan beberapa negara lain. Bahan turunan dari sumber haram umumnya tidak diterima, meskipun telah melalui proses kimia yang kompleks. Kebijakan ini sering dipersepsikan sebagai hambatan bagi industri.

Namun, jika dilihat dari perspektif fiqh, pendekatan tersebut justru memiliki dasar yang kuat. Kaidah fiqh menyatakan bahwa apabila halal dan haram bercampur, maka yang haram harus didahulukan. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi umat dari risiko konsumsi yang meragukan.

Fiqh juga menganjurkan untuk keluar dari perbedaan pendapat, terutama dalam urusan yang berdampak luas. Dalam konteks konsumsi massal, memilih pendapat yang paling aman menjadi bentuk tanggung jawab sosial dan keagamaan. Hal ini sejalan dengan prinsip sadd al-dzari’ah, yaitu menutup jalan menuju keharaman.

Pendekatan kehati-hatian ini tidak dimaksudkan untuk mempersulit, tetapi untuk memastikan perlindungan maksimal bagi konsumen Muslim. Kesalahan dalam satu lini produksi dapat berdampak pada jutaan orang, sehingga standar yang longgar justru berisiko menimbulkan mudarat yang lebih besar.

Dengan demikian, pilihan Indonesia dalam menerapkan standar halal yang ketat dapat dipahami sebagai bentuk keberpihakan pada maslahat umat. Dalam fiqh, menjaga dari potensi kerusakan selalu didahulukan daripada menarik kemudahan yang berisiko.

Sistem Jaminan Halal sebagai Instrumen Perlindungan

Sistem Jaminan Halal Indonesia atau yg sering kita dengar dengan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) hadir sebagai jawaban atas kompleksitas industri modern. Sistem ini tidak hanya menilai produk akhir, tetapi mengawasi seluruh rantai produksi secara menyeluruh. Mulai dari bahan baku, fasilitas, prosedur kerja, hingga sumber daya manusia.

Dalam perspektif fiqh, SJPH mencerminkan prinsip amanah. Pelaku usaha tidak hanya bertanggung jawab kepada negara, tetapi juga kepada konsumen dan Allah SWT. Kejujuran dalam menjaga halal merupakan bagian dari etika bisnis Islam.

SJPH juga sejalan dengan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa kemudaratan harus dihilangkan. Ketidakjelasan status halal dapat menimbulkan kegelisahan dan keraguan bagi konsumen Muslim. Oleh karena itu, negara memiliki legitimasi untuk hadir dan mengatur melalui sistem yang mengikat.

Dengan adanya sistem yang terdokumentasi dan dapat diaudit, status halal tidak lagi bersifat asumtif. Konsumen mendapatkan kepastian, sementara pelaku usaha memiliki pedoman yang jelas. Ini mencerminkan prinsip bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan.

Lebih jauh, SJPH berfungsi sebagai instrumen edukasi. Ia mendorong pelaku usaha untuk memahami halal sebagai proses berkelanjutan, bukan sekadar target sertifikasi. Dalam jangka panjang, sistem ini dapat membangun budaya industri yang lebih etis dan bertanggung jawab.

Peran Lembaga dan Ijtihad Kolektif

Penetapan halal di Indonesia melibatkan berbagai pihak, mulai dari auditor, pakar sains, hingga ulama. Fatwa halal tidak lahir dari satu sudut pandang, melainkan melalui ijtihad kolektif yang mempertimbangkan aspek fiqh dan teknis secara bersamaan.

Dalam tradisi Islam, ijtihad jama’i dipandang lebih relevan untuk menjawab persoalan kontemporer yang kompleks. Tidak semua persoalan modern dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan tekstual. Diperlukan dialog antara nash dan realitas.

Keputusan lembaga fatwa juga memiliki fungsi sosial yang penting. Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa keputusan otoritas dapat mengakhiri perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Ini memberikan kepastian hukum dan menghindari kebingungan publik.

Ketika fatwa diintegrasikan ke dalam sistem hukum negara, fiqh menunjukkan kemampuannya untuk berdialog dengan struktur modern. Fiqh tidak kehilangan identitasnya, tetapi justru menemukan ruang aktualisasinya dalam kebijakan publik.

Dengan pendekatan ini, halal tidak hanya menjadi urusan individu atau kelompok tertentu, melainkan menjadi kesepakatan sosial yang dijaga bersama. Inilah wajah fiqh yang hidup dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Tantangan dan Catatan Kritis

Meski sistem halal Indonesia terus berkembang, tantangan ke depan semakin kompleks. Perkembangan bioteknologi, bahan sintetis, dan produk impor menuntut pembaruan kajian fiqh secara berkelanjutan. Tanpa itu, regulasi halal berisiko tertinggal dari inovasi industri.

Di sisi lain, pemahaman masyarakat tentang halal masih sering terjebak pada simbol. Label halal dipandang sebagai tujuan akhir, bukan sebagai hasil dari proses panjang yang menjamin integritas produk. Cara pandang ini perlu diluruskan.

Edukasi publik menjadi kunci penting. Konsumen perlu memahami bahwa halal adalah sistem nilai yang mencakup kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Tanpa kesadaran ini, sistem halal akan sulit berjalan secara optimal.

Pelaku usaha juga dituntut untuk tidak melihat halal semata sebagai kewajiban administratif. Halal seharusnya diposisikan sebagai komitmen etis yang meningkatkan kepercayaan dan daya saing produk.

Jika halal hanya diperlakukan sebagai formalitas, maka nilai spiritual dan sosialnya akan terkikis. Sebaliknya, jika dipahami secara utuh, halal dapat menjadi standar mutu dan etika global.

Penutup

Menjaga halal sejatinya adalah menjaga kepercayaan. Di tengah kompleksitas industri modern, kejelasan halal menjadi kebutuhan mendasar bagi umat Islam. Kriteria bahan halal dan Sistem Jaminan Halal Indonesia merupakan ikhtiar kolektif untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Dengan fondasi fiqh yang kuat, pendekatan kehati-hatian, dan sistem yang transparan, halal tidak berhenti pada simbol. Ia hadir sebagai nilai yang hidup dalam kebijakan dan praktik industri.

Ke depan, sinergi antara ulama, ilmuwan, negara, dan masyarakat menjadi kunci keberlanjutan sistem halal. Tanpa kerja bersama, halal akan sulit dijaga secara konsisten.

Dalam dunia yang serba cepat dan kompleks, komitmen terhadap halal menjadi penanda bahwa prinsip masih memiliki tempat dalam kebijakan publik. Halal bukan sekadar label, melainkan cermin tanggung jawab moral dan religius.

 

Tags

Terkini